IDXChannel - Awal 2023 sepertinya masih belum menjadi bulan terbaik bagi ekonomi China. Pasalnya, inflasi harga konsumen di China tumbuh kurang dari yang yang diperkirakan pengamat pada Januari.
Meskipun pembatasan Covid-19 telah dicabut, sepertinya masyarakat China enggan membelanjakan uang mereka di tengah ancaman inflasi dan lonjakan kasus Covid-19.
Sementara inflasi di sektor pabrik yang memburuk menunjukkan bahwa sektor manufaktur tetap berada di bawah tekanan.
Tingkat inflasi China naik 2,1% secara tahunan atau year on year (yoy) pada bulan lalu, menurut data dari Biro Statistik Nasional. Angka ini di atas data bulan Desember 2022 yakni sebesar 1,8%, namun masih di bawah ekspektasi analis 2,2%. (Lihat grafik di bawah ini.)
Secara bulanan, inflasi IHK tumbuh lebih dari yang diharapkan menjadi 0,8%, meningkat tajam dari pembacaan 0% yang terlihat di bulan Desember.
Kondisi ini membuat konsumen China berhati-hati dalam membelanjakan uang dalam jumlah besar.
Pengeluaran konsumen juga didorong oleh liburan Tahun Baru Imlek selama seminggu, meskipun sedikit.
Terburu-buru Optimis?
Tetapi data Jumat (10/2) menunjukkan bahwa ekonomi China menghadapi jalan panjang untuk mencapai tingkat pertumbuhan pra-pandemi. Realitas ini merusak ekspektasi pasar untuk pemulihan secara cepat pada raksasa ekonomi itu.
Sebelumnya sejumlah ramalan ekonomi China di tahun ini menunjukkan pembacaan positif. Mengutip Reuters (8/2), lembaga pemeringkat Fitch telah merevisi perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi China pada 2023 menjadi 5,0% dari sebelumnya 4,1%.
Optimisme ini muncul karena harapan konsumsi dan aktivitas ekonomi yang lebih luas, serta berakhirnya rezim zero Covid-19.
Indeks harga produsen (PPI) China menyusut 0,8% secara YoY di bulan Januari. Angka ini juga lebih buruk dari pembacaan bulan Desember yang terkontraksi 0,7% dan di bawah ekspektasi sebesar minus 0,5%.
Ekonomi terbesar kedua dunia itu masih berjuang menghadapi tekanan meningkatnya kasus Covid-19 dan kondisi ekonomi global yang memburuk.
Sementara bisnis lokal juga dilaporkan berjuang untuk mengatasi kasus lonjakan Covid-19 yang tinggi. Mereka juga harus menghadapi melemahnya permintaan luar negeri untuk barang-barang China, di tengah aktivitas ekonomi yang melambat di seluruh dunia.
Pembacaan inflasi yang lemah juga membuat sektor manufaktur tetap mengalami kontraksi hingga Januari.
Tren inflasi yang lemah dapat mengundang lebih banyak langkah stimulus dan pemotongan suku bunga dari pemerintah. Mengingat pemerintah berjuang untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
Beijing baru-baru ini menegaskan kembali komitmennya untuk meningkatkan aktivitas ekonomi tahun ini dengan mendorong konsumsi dan memompa lebih banyak uang ke dalam perekonomian.
Namun, intervensi pemerintah dapat menjadi pertanda buruk bagi mata uang yuan China, yang berada pada posisi kesenjangan besar antara suku bunga lokal dan asing. Mata uang China ini merosot 0,2% setelah pembacaan data CPI hari Jumat ini (10/2).
Dana Moneter Internasional (IMF) juga sempat memperingatkan (30/1) pemulihan China dapat terhenti di tengah gangguan ekonomi global yang lebih besar dari perkiraan dan juga adanya ancaman dari gelombang infeksi Covid-19 saat ini atau di masa depan.
Sementara perlambatan yang lebih tajam dari perkiraan di sektor property juga dapat memperburuk keadaan. IMF juga memproyeksikan ekonomi China akan tumbuh 5,2%.
Menanggapi data terbaru inflasi China ini, bursa saham di Asia diperdagangkan beragam pada Jumat (10/2), mengikuti pergerakan di Wall Street karena data inflasi China lebih rendah dari yang diperkirakan.
Indeks Shanghai Composite turun 0,46% dan indeks Komponen Shenzhen turun 0,83%. Sementara indeks Hang Seng Hong Kong juga turun 1,78%, terseret oleh saham teknologi. Indeks Hang Seng Tech memimpin penurunan di wilayah tersebut dengan melorot sebesar 3,92%. (ADF)