"Sehingga di dalam periode tadi BPDPKS tidak mendapatkan penerimaan yang berasal dari pungutan ekspor," katanya.
Selain itu, Eddy mengatakan, adanya pungutan nol persen yang diberlakukan pada 15 Juli lalu juga menyebabkan pendapatan pungutan ekspor sawit menurun.
Kebijakan tersebut merupakan langkah pemerintah untuk mengakselerasi kegiatan ekspor sawit agar dapat bersaing di pasar internasional setelah adanya larangan ekspor.
"Oleh karena itu, pada tanggal 15 Juli yang lalu pemerintah menetapkan bahwa pungutan ekspor dibebaskan yang artinya nol persen. Itu kemudian berlaku terus sampai 15 November. Jadi kurang lebih empat bulan BPDPKS tidak mendapatkan penerimaan ekspor," katanya.
Namun, sejak 16 November 2022 yang lalu berdasarkan PMK baru yang mengatur tarif pungutan ekspor pemerintah menetapkan kebijakan secara fleksibel. Di mana apabila harga sawit sudah mencapai USD800 per ton atau lebih, maka pungutan ekspor berlaku lagi.
"Ternyata pada 16 November lalu harga CPO sudah di atas USD800, sehingga demikian pungutan ekspor kembali berlaku," katanya.
Eddy mengatakan, pendapatan BPDPKS dari PE sepanjang2022 sebesar Rp34,5 triliun tersebut akan digunakan untuk mendanai program-program BPDPKS di 2023, seperti program peremajaan sawit rakyat (PSR), biodiesel, penelitian dan pengembangan sawit, hingga dana sosial masyarakat.
(FAY)