sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Dikritik Jokowi, Kenapa Banyak Startup RI Layu Sebelum Berkembang?

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
27/09/2022 10:53 WIB
Bisa dibilang ini menjadi tahun yang berat bagi bisnis startup di Tanah Air. Menurunnya pendanaan angle investor hingga bubble burst yang perlu diwaspadai.
Dikritik Jokowi, Kenapa Banyak Startup RI Layu Sebelum Berkembang? (Foto: MNC Media)
Dikritik Jokowi, Kenapa Banyak Startup RI Layu Sebelum Berkembang? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Dalam pembukaan BUMN Startup Day 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung soal 90 persen startup atau perusahaan rintisan mengalami kegagalan di awal bisnisnya.

Dari jumlah itu, menurut Jokowi sebanyak 42 persen startup gagal karena tidak ada kebutuhan pasar. Sementara, 29 persen startup kehabisan dana, 23 persen karena susunan tim, 19 persen kalah kompetisi, dan 18 persen karena permasalahan harga.

"Hati-hati 80 persen sampai 90 persen startup gagal saat merintis," kata Jokowi pada event tersebut di ICE BSD City, Tangerang, Senin (26/9).

Untuk itu Jokowi mengingatkan, perintisan startup harus berangkat dari kebutuhan masyarakat. Jokowi berharap kehadiran perusahaan modal ventura milik BUMN dapat menjawab permasalahan tersebut. Dengan demikian, startup diharapkan bisa memenuhi kebutuhan pasar dan menangkap peluang yang ada di Indonesia.

"Agar ekosistem besar yang ingin dibangun ini bisa saling sambung," ujar presiden.

Lalu bagaimanakah sesungguhnya kondisi bisnis startup ini di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu?

Apa penyebab utama mereka gagal bertahan di tengah ekosistem yang tengah berusaha untuk tumbuh?

Bakar Uang hingga Turnover Tinggi Jadi Biang Kerok?

Lansekap bisnis startup Tanah Air memang terbilang unik. Di samping masih banyaknya tantangan di sisi budaya digital, ekosistem startup dianggap ‘terlalu dini’ untuk dibilang sukses. Kondisi ini tercermin dari stabilitas bisnis, pendanaan, model bisnis, hingga jangkauan pasar yang terbatas.

Dalam analisisnya, CB Insights mengungkapkan terdapat sejumlah penyebab utama perusahaan rintisan tersebut dapat dikatakan layu sebelum berkembang.

Pertama, karena kehabisan modal atau tidak bisa menambah modal baru sebanyak 38%.

Kedua, karena tidak memiliki pangsa pasar sehingga produk yang ditawarkan kalah bersaing sebanyak 35%.

Selanjutnya, startup sering kali tumbang karena kalah dalam persaingan pasar dan buruknya model bisnis yang ditawarkan.

Masing-masing memperoleh presentase sebesar 20% dan 19%. Lalu yang terakhir tantangan regulasi yang dihadapi perusahaan rintisan mendapatkan presentase 18%. (Lihat tabel di bawah ini.)

Hasil riset lain CB Insight dalam The Top 12 Reasons Startups Fail juga menyebutkan beberapa isu penyebab gagalnya startup di antaranya juga karena adanya ketidakcocokan teamwork hingga isu burn out yang bisa saja dialami karyawan. Keduanya bahkan mendapat presentase 14% dan 5%.

Tak hanya dari sisi pendanaan, budaya kerja startup yang bisa dibilang baru juga menjadi tantangan tersendiri.

Dua perusahaan rintisan (startup)  HappyFresh dan Reddorz misalnya, pada 2019 lalu menyebutkan kepada media nasional rata-rata sekitar 25% karyawannya mengundurkan diri setiap tahun. Meski cukup tinggi, tingkat pengunduran diri tersebut dinilai masih normal. 

Menurut Borries Abridita Putra, Group OD & HRBP HappyFresh saat itu, dari sekitar 300 total karyawan rata-rata terdapat sekitar 25% di antaranya yang mengundurkan diri setiap tahun. Mayoritas merupakan karyawan dengan pengalaman 2 hingga 3 tahun kerja. 

Jika melihat tren perusahaan rintisan beberapa waktu belakangan, bahkan startup yang sudah memiliki valuasi tinggi pun masih bisa menghadapi guncangan. Shopee bisa menjadi contoh.

Baru-baru ini, perusahaan e-commerce besutan Forrest Li asal Singapura ini melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada sekitar 180 karyawannya. Alasan efisiensi di tengah kondisi ekonomi global yang tidak pasti menjadi jurus pamungkas perusahaan.

Padahal, jika menilik kinerja keuangan perusahaan induknya, Sea Group, terjadi sejumlah pemborosan yang ditopang oleh beban biaya operasional yang 52,3% secara tahunan (yoy) menjadi US$1,92 miliar.

Sea menanggung pembengkakan rugi bersih meskipun pendapatan naik 29,0% yoy. Total kerugian bersih adalah US$931,2 juta per kuartal kedua 2022, dibandingkan dengan US$433,7 juta pada periode yang sama tahun 2021.

Namun, jika diperhatikan, fenomena PHK ini juga menimpa beberapa startup kenamaan Tanah Air. Sebut saja Zenius, Zilingo, Mamikos, hingga TaniHub yang juga melakukan tindakan serupa.

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement