IDXChannel - Dilansir dari the Guardian pada Jumat (30/12), Para Ekonom terkemuka di dunia telah menghabiskan sebagian besar tahun 2022 untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa, ekonomi global belum berada dalam resesi.
Dengan berakhirnya tahun ini, kemerosotan global telah ditunda hingga tahun 2023.
Hal ini diperjelas dengan adanya laporan yang mengatakan bahwa AS berada dalam resesi selama paruh pertama tahun ini masih terlalu dini, terutama mengingat betapa ketatnya pasar tenaga kerja negara tersebut.
Terlepas dari kepercayaan banyak orang yang menyatakan akan ada penurunan yang tak terhindarkan, seorang ahli ekonomi makro internasional, Jeffrey Frankel, beranggapan bahwa peluang terjadinya penurunan di tahun mendatang berada jauh di bawah 100 persen.
Meski demikian, karena terjadinya kenaikan suku bunga yang cepat oleh Federal Reserve AS dan bank sentral besar lainnya, terdapat sekitar 50 persen kemungkinan resesi pada tahun 2023 dan 75 persen kemungkinan itu terjadi di beberapa titik selama dua tahun ke depan.
Eropa yang terpukul keras oleh melonjaknya harga energi, kemungkinan besar akan mengalami resesi, yang oleh kebijaksanaan konvensional didefinisikan sebagai penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut.
Bagaimanapun, China tampaknya dalam kondisi yang lebih buruk. Hal ini dikarenakan China memiliki masalah yang sama dengan Eropa, ditambah sektor properti yang runtuh dan kasus Covid-19 yang melonjak, karena keputusan pemerintah China baru-baru ini untuk membuka kembali ekonomi tanpa dorongan vaksinasi yang memadai.
Sementara pertumbuhan China tahun depan diperkirakan akan jauh lebih lambat daripada kecepatan historis yang biasa dialaminya selama empat dekade terakhir, kecil kemungkinan PDB-nya akan berkontraksi selama dua kuartal.
Selain itu, menurut Frankel, kesengsaraan ekonomi yang dialami banyak negara saat ini disebabkan oleh negara itu sendiri, karena kesalahan kebijakan yang berbahaya seperti yang dapat diprediksi.
Seperti yang terjadi antara tahun 2011 dan 2021, misalnya. Pada saat itu, Eropa semakin memperdalam ketergantungannya pada gas alam Rusia, membuatnya sangat rentan ketika Kremlin melancarkan perangnya melawan Ukraina.
Demikian pula pada kebijakan China nol-Covid yang kejam menimbulkan kerugian ekonomi yang tinggi, sementara itu, tidak adanya rencana untuk melonggarkan pembatasan pandemi berarti strategi penahanannya hanya menunda kematian akibat Covid.
AS pada bagiannya juga telah melakukan banyak kesalahan, termasuk rela melepaskan kepemimpinannya atas tatanan internasional liberal dan mengabaikan Organisasi Perdagangan Dunia, serta kerangka kerja perdagangan yang telah dinegosiasikan oleh para anggotanya selama bertahun-tahun.
Tarif Donald Trump salah, namun Joe Biden tidak berbuat banyak untuk membalikkan keadaan tersebut. Faktanya, ketentuan "beli Amerika" dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi yang dipuji-puji melanggar aturan WTO.
Sementara efek merugikan yang diharapkan dari suku bunga yang lebih tinggi belum terbukti, terdapat adanya tanda bahwa “gelembung segalanya” akhirnya meledak.
Harga saham AS telah mencapai puncaknya pada Januari 2022 dan terus menurun sejak saat itu. Obligasi, real estat, dan aset pasar yang sedang berkembang juga mengalami penurunan yang cukup signifikan untuk tahun ini.
Pada Juli 2021, frankel berpendapat bahwa ada kemungkinan 90 persen “gelembung aset” yang mendominasi pasar keuangan akan meledak. Valuasi yang tinggi secara historis merupakan indikator yang jelas, meskipun suku bunga riil dan bahkan nominal kali ini nol atau negatif tahun lalu.
Tingkat diskonto yang rendah mengartikan bahwa hampir semua tingkat harga aset dapat dirasionalisasikan sebagai nilai diskonto pendapatan masa depan saat ini.
Sementara tahun depan akan sulit bagi ekonomi dunia, kemerosotan yang akan datang mungkin seharusnya tidak memenuhi syarat sebagai resesi, mengingat kriteria dua perempat berturut-turut terlalu sangatlah sempit.
Umumnya, Pertumbuhan global pada periode pasca perang jarang turun di bawah nol untuk satu kuartal, apalagi dua. Dengan ukuran tersebut, kemerosotan parah akibat guncangan minyak tahun 1974 dan 1981 tidak akan memenuhi syarat sebagai resesi global.
Bahkan di saat resesi yang nyata, pertumbuhan positif di antara negara-negara berkembang cenderung lebih besar daripada pertumbuhan negatif negara-negara maju, kecuali pada dua hal penting yaitu krisis keuangan global 2008 dan krisis Covid-19 2020.
Sementara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan serta Dana Moneter Internasional memperkirakan pertumbuhan global akan turun menjadi 2,2-2,7 persen pada tahun 2023 mendatang, dari 6,1 persen pada tahun 2021, yang masih membuat ekonomi dunia tidak mungkin menyusut selama tiga kuartal berturut-turut.
Bahkan jika kita mengadopsi langkah-langkah yang tidak terlalu ketat untuk mendefinisikan resesi global, seperti penurunan pertumbuhan PDB di bawah 2,5 persen, resesi global 2023 bukanlah kesimpulan yang pasti.
(DKH)