IDXChannel - Ekonomi Indonesia pada 2024 diproyeksi masih harus dihadapkan dengan berbagai tantangan. Artinya, pertumbuhan di angka 4,8-5 persen bisa saja tercapai dengan skenario yang moderat.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, hal itu terutama transisi pergantian kepemimpinan, dampak konflik antar negara, hingga pembatasan dagang yang diterapkan beberapa negara mitra dagang Indonesia.
"Jadi bisa mencapai pertumbuhan 5% saja sebuah hal yang sangat istimewa bagi Indonesia, karena tahun depan itu ada faktor transisi pemerintahan, dan tentunya ini menambah ketidakpastian bagi pelaku usaha," ujarnya saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Minggu (10/12/2023).
Bhima menilai, dari sisi kinerja investasi untuk tahun depan kemungkinan bakal mengalami perlambatan yang diakibatkan oleh faktor pergantian kekuasaan. Pelaku usaha perlu membaca arah pembangunan baru kedepannya sebelum mulai menanamkan modalnya.
"Investasi memang kecenderungan mengalami pelambatan, pada waktu tahun politik dan pemilu, namun kemudian investasi akan meningkat lagi, dengan catatan pemerintahan baru pemilihan kabinetnya berasal dari orang yang kompeten, itu yang akan dilihat oleh pelaku usaha dan Investor," lanjutnya.
Kemudian dari sisi konsumsi domestik, kata dia, pasar di dalam negeri cukup sensitif dengan tekanan inflasi dampak dari kondisi perekonomian global. Di samping itu, masih kuatnya ketergantungan Indonesia terhadap dolar juga menjadi sentimen terhadap sisi konsumsi.
"Konsumsi domestik bisa terjaga kalau lapangan kerja bisa lebih banyak terserap, terutama di sektor formal, industri pengolahan, dan konsumsi bisa bergantung pada tingkat suku bunga," kata Bhima.
Tantangan lain, menurut Bhima, ada pada kinerja ekspor Indonesia. Pada 2024 kinerja ekspor memiliki tantangan yang lebih kompleks, sebab mitra dagang seperti China diperkirakan bakal mengalami perlambatan ekonomi. Pada tahun 2024 perekonomian China diperkirakan hanya mampu tumbuh di angka 4,6 persen.
Bhima berharap pemerintah bisa segera melakukan diversifikasi pasar. Membuka jalur perdagangan baru ke negara-negara dengan jumlah populasi yang besar dengan pertumbuhan ekonomi yang positif sebagai pasar alternatif.
"Ini akan sangat sensitif terhadap lapangan usaha atau industri yang berorientasi pada Ekspor, dan berdampak pada penyaluran pembiayaan ekspor," lanjutnya.
Di satu sisi, pemerintah juga harus memberikan proteksi terhadap pasar di dalam negeri. Mengingat bonus demografi yang akan dimiliki Indonesia pada beberapa tahun mendatang menjadikan Indonesia sebagai pasar yang seksi dilirik oleh negara lain.
Ketika barang impor secara masif masuk ke dalam negeri, akhirnya para pelaku usaha di dalam negeri kesulitan untuk mendapatkan pasar karena harus berkompetisi dengan banyak produk impor.
"Demografi Indonesia masih didominasi oleh usia produktif, disatu sisi kita bisa mendorong sektor ekonomi domestik bergerak, tapi harus hati-hati yang mengincar pasar Indonesia bukan hanya pelaku usaha dalam negeri saja, tapi juga para eksportir dari negara seperti China, Korsel, jepang, Eropa, Amerika juga mengincar pasar Indonesia," kata Bhima.
"Perlu pengendalian impor, sehingga konsumsi rumah tangga bisa tumbuh dan bermanfaat bagi lapangan usaha dalam negeri," pungkasnya.
(YNA)