IDXChannel – Nikel yang menjadi komoditas pendukung ekosistem kendaraan listrik (electric vehicle/EV) kini tengah mengalami penurunan harga yang cukup dalam.
Memasuki awal 2024, harga nikel dunia masih tertekan dibandingkan sejumlah komoditas mineral lainnya.
Melansir Trading Economics, Senin (15/1/2024), harga nikel berjangka turun 0,53 persen di bawah USD16.500 per ton, mendekati posisi terendah dalam tiga tahun terakhir. (Lihat grafik di bawah ini.)
Penurunan ini karena kuatnya pasokan dari produsen utama dunia yakni Indonesia, Filipina, dan China yang terus membebani komoditas tersebut.
Indonesia, sebagai produsen utama nikel dunia, mengalami penurunan ekspor komoditas ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor nikel anjlok 4,09 persen sebesar USD521,8 juta per Desember 2023.
Jumlah ini melorot secara bulanan (month-to-month/mtm) dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara dari volumenya, ekspor nikel tercatat sebanyak 126,0 juta ton atau turun 14,06 persen secara bulanan.
“Penurunan volume ini lebih dalam dibandingkan penurunan nilainya,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, Pudji Ismartini, dalam konferensi pers, Senin (15/1).
Menurut data Statista, pada 2022, tambang Indonesia memproduksi sekitar 1,6 juta metrik ton nikel. Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia, mengalahkan Filipina dan Rusia yang berada di urutan kedua dan ketiga.
Secara global, perkiraan terbaru dari International Nickel Study Group, pasokan logam tersebut saat ini mengalami oversupply alias melampaui permintaan sebesar 223.000 metrik ton pada tahun 2023. Kesenjangan ini juga diperkirakan akan melebar menjadi 239.000 metrik ton pada 2024.
Hal ini disebabkan oleh melemahnya penggunaan akibat perlambatan ekonomi global, khususnya pemulihan ekonomi China yang rapuh.
Di sisi lain, sedikit penurunan harga berasal dari harapan penurunan suku bunga oleh bank sentral utama dan prospek permintaan yang lebih kuat (3,47 juta ton vs 3,20 juta pada tahun 2023) terkait dengan meningkatnya penggunaan nikel dalam baterai kendaraan listrik dan kebangkitan kembali nikel sebagai bahan baku sektor baja tahan karat.
Sepanjang 2023, harga nikel sudah anjlok 39,5 persen dan menjadi komoditas dengan kinerja terburuk di seluruh komponen logam nonferrous di London Metal Exchange (LME).
Lemahnya ekspor nikel Indonesia disebabkan oleh menurunnya permintaan dari negara tujuan ekspornya. BPS juga mengakui bahwa terjadi penurunan harga komoditas nikel secara tahunan yang anjlok.
Harga komoditas nikel per Desember 2023 yang dilaporkan BPS berada di level USD16,5/dmtu.
Angka tersebut turun 43,13 persen dibanding periode yang sama sebelumnya, tepatnya Desember 2022. Saat itu, harga nikel tercatat sebesar USD28,9/dmtu. Sementara itu, secara bulanan, harga komoditas nikel tercatat turun 3,53 persen.
Dalam kesempatan lain, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengungkap selama ini seringkali Indonesia terlena untuk menjual barang mentah. Presiden asal Solo ini mencontohkan komoditas batu bara yang diekspor begitu saja.
Jokowi juga menyinggung nikel hingga bauksit yang masih dijual mentahannya tanpa diolah terlebih dahulu. Ia menyebut komoditas mentah ini memiliki pasar yang sangat mudah dan perolehan keuntungan yang juga jelas. Ironisnya, Indonesia tidak mendapatkan nilai tambah dari praktik tersebut.
"Nikel yang sebelumnya juga sama dicangkul saja, ekspor, semua negara terima. Tanpa nilai tambah. Bauksit cangkul saja, ekspor, juga semua negara mau mengambilnya, tapi kita tidak memiliki nilai tambah," jelas Jokowi dalam acara peresmian pembukaan Konvensi Kampus XXIX dan Temu Tahunan Forum Rektor Indonesia di Surabaya, Senin (15/1). (ADF)