Arifin melanjutkan, berdasarkan aturan mengenai produksi, Kementerian ESDM tidak memberikan izin ekspor. Namun jika tidak memberikan izin ekspor maka akan memberikan dampak terhadap penerimaan negara dan juga dampak sosial terhadap karyawan.
"Untuk itu memang kita berikan izin ekspor dengan tetap memberlakukan denda. Denda disebabkan oleh keterlambatan progres konstruksi yang memang masanya itu nanti akan didudukkan," tuturnya.
Sementara Anggota Komisi VII DPR RI Ridwan Hisyam menilai janji pembangunan smelter oleh PT Freeport Indonesia hanya akal-akalan saja, karena tidak akan pernah terwujud. Menurutnya, sejak Tahun 1997 rencana-rencana pembangunan seperti ini hanya menjadi wacana dan pada akhirnya tidak pernah menjadi sesuatu yang diharapkan bagi Indonesia.
"Saya juga sudah bicara empat mata dengan Presiden PT Freeport. Kita bicara sebagai pengusaha, siap gak kamu ini? Mau bagaimanapun diakal-akali saja. Undang-Undang ini mulai Tahun 2004, diubah Tahun 2009 sampai kemudian Undang-undang Minerba kemarin. Tapi apa hasilnya? Tidak ada," ujarnya.
Menurut dia, dengan dominasi saham Freeport yang dimiliki negara saat ini, seharusnya pemerintah dapat mengambil alih pemegang saham terbesar. Ia menyarankan agar pemerintah Indonesia lewat BUMN hilir yang mengeksekusi smelter tersebut. Sementara di sisi hulu, pemerintah harus menyiapkan Mind ID. (RAMA)