Si Tangan Besi Vs Liz Truss
Kondisi ekonomi Inggris baru-baru ini mengingatkan pada era krisis yang terjadi di negeri tersebut pada decade 1980-an lalu.
Kala itu, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Margareth Thatcher, Inggris dihadapkan pada inflasi tinggi, meningkatnya pengangguran, mahalnya harga rumah, hingga melambungnya harga energi.
Hingga Inggris mendapat julukan sebagai "sick man of Europe" hingga 1980-an. Inflasi dua digit hingga munculnya kekuatan serikat pekerja yang berlebihan menjadi bagian dari kehidupan nasional.
Dalam kondisi tersebut, menjinakkan inflasi adalah prioritas pertama Thatcher sebagai PM. Kebijakan anggaran yang ketat untuk mengendalikan pengeluaran publik dikombinasikan dengan sikap moneter yang ketat, dirancang untuk mengurangi ekspektasi inflasi.
Memotong kekuatan sektor negara yang dominan adalah mantra Thatcherisme. Sektor publik harus mundur dari area lanskap industri. Privatisasi terjadi begitu massif termasuk untuk perusahaan sekelas Rolls-Royce, BT, British Airways hingg British Gas.
Apa yang disebut supply side reform, mencakup pasar tenaga kerja dan pemotongan pajak untuk mendorong perusahaan adalah fitur kunci lain dari kebijakan ekonomi Thatcher.
Situasi yang sama kini dihadapi kabinet Liz Truss. Di tengah muramnya kondisi ekonomi global yang cukup berdampak bagi Inggris, Truss melihat kebijakan pemotongan pajak dapat menjadi obat yang cukup dibutuhkan saat ini
"Potong pajak untuk menghargai kerja keras dan mendorong pertumbuhan bisnis dan investasi,” katanya mengutip BBC.
Partai Konservatif, yang menjadi kendaraan politiknya telah berkuasa sejak 2010. Sama seperti partai pendahulunya, Margaret Thatcher. Menjelang kenaikan Truss, Kwasi Kwarteng, selaku Menteri Keuangan juga mengutarakan pandangan serupa.
“Manajerialisme ekonomi lama yang sama telah membuat kita mengalami stagnasi ekonomi dan pertumbuhan yang lesu,” kata Kwarteng mengutip BBC. (ADF)