sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Gonjang-ganjing Ekonomi Inggris di Bawah Liz Truss

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
26/09/2022 12:05 WIB
Situasi di Inggris seperti kembali di era krisis 1980-an. Kebijakan pemotongan pajak di bawah PM baru, Liz Truss dianggap sebagai obat mujarab untuk ekonomi.
Gonjang-ganjing Ekonomi Inggris di Bawah Liz Truss. (Foto: MNC Media)
Gonjang-ganjing Ekonomi Inggris di Bawah Liz Truss. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Inggris dibayangi kondisi ekonomi karut marut pasca pecahnya perang Rusia-Ukraina. Dampak yang dirasakan negeri monarki ini cukup terasa terutama di sektor energi dan bahan pangan.

Terhentinya pasokan menjadi penanda sulitnya perdagangan akibat kebijakan boikot Uni Eropa terhadap sejumlah komoditas dari Rusia. Padahal, Rusia menjadi salah satu pemasok komoditas penting benua Biru, termasuk energi dan bahan pangan seperti gandum.

Negeri yang baru saja ditinggal pemimpin negaranya, mendiang Ratu Elizabeth II ini, tengah menghadapi guncangan ekonomi paling serius setelah 1982. Terpilihnya Liz Truss sebagai Perdana Menteri (PM) baru, menggantikan Boris Johnson, seolah tak mencerminkan harapan baru di tengah muramnya kondisi perekonomian nasional.

Berdasarkan analisis PwC, Pada Juni 2022, ekonomi Inggris menyusut 0,6%, dengan pertumbuhan terpolarisasi tercatat di tingkat regional. Prospek inflasi Inggris semakin dibayangi ketidakpastian  dengan proyeksi dapat mencapai puncaknya di level 17% pada paruh pertama 2023.

“Tetapi jika pemerintah memilih untuk membekukan tagihan energi rumah tangga, maka ini dapat melihat puncak inflasi antara 10% hingga 13%,” tulis laporan PwC.

Tingkat inflasi tahunan di Inggris juga tercatat tertinggi pada bulan Juli mencapai 10,1%. Angka ini menjadi yang tertinggi sejak 1982, dan di bawah perkiraan pasar 10,2%. Meskipun secara tak terduga turun menjadi 9,9% pada Agustus 2022. Kondisi ini adalah pertama kalinya dalam 11 bulan inflasi mereda.

Gubernur Bank of England (BOE) Andrew Bailey mengatakan konflik Rusia-Ukraina menjadi penyebab utama inflasi Inggris.

Namun, beberapa ekonom menyebut banyak faktor yang mempengaruhi inflasi. Di antaranya, tagihan energi, yang membengkak karena harga minyak dan gas yang tinggi cukup tinggi akibat terhambatnya pasokan dari Rusia.

Kondisi ini juga berdampak bagi harga bensin dan solar karena perang telah menyebabkan kenaikan harga minyak mentah.

Harga pangan juga meroket disebabkan perang Rusia Ukraina yang menekan produksi dan biaya impor biji-bijian. Harga mobil bekas juga naik tajam.

Adapun peningkatan yang signifikan terjadi di sektor bahan baku, barang-barang rumah tangga dan furnitur, juga sektor perhotelan termasuk restoran.

Di samping itu, suku bunga yang lebih tinggi membuat pembayaran hipotek atau kredit kepemilikan rumah (KPR) lebih mahal bagi beberapa pemilik rumah.

Kenaikan gaji tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga yang terjadi. Upah rata-rata, tidak termasuk bonus, naik 5,2% dalam tiga bulan hingga Juli 2022. Tetapi ketika dibarengi inflasi, kenaikan gaji itu sebenarnya hanyalah ilusi di mana yang terjadi sesunggunya justru turun sebesar 2,8%.

Kebijakan Tax Cut Bikin Geger Inggris

Pasca prosesi pemakaman Ratu Elizabeth II beberapa waktu lalu, parlemen Inggris memulai mengambil langkah strategis untuk mengatasi kondisi perekonomian nasional. Di bawah kabinet Truss, menteri keuangan Kwasi Kwarteng mengumumkan pemotongan pajak (pemotongan pajak) di beberapa sektor pada hari Jumat (23/9).

Tak lama berselang, kebijakan tersebut direspon dengan merosotnya nilai Poundsterling hampir 2,6% ke level terhadap dolar AS, terendah sejak 1985.

Sumber: CNN

Mengutip situs pemerintah Inggris, langkah ini merupakan new Growth Plan untuk mendukung potensi besar dalam ekonomi Inggris untuk mengatasi tingginya biaya energi dan inflasi dan mendorong produktivitas dan upah yang lebih tinggi.

Rencana pemotongan Basic Rate 1ppt ini akan diberlakukan hingga April 2023. Untuk memungkinkan orang menyimpan lebih banyak uang mereka, Tarif Dasar Pajak Penghasilan akan dipotong dari 20% menjadi 19% mulai April 2023.

Untuk mendorong pertumbuhan korporasi, pemerintah juga telah menghapus Additional Rate of Income Tax atau Tarif Tambahan Pajak Penghasilan. Pemerintah setempat mempertahankannya pada rate 19% demi menjaga tren pertumbuhan 2,5%.

Tarif dasar pajak penghasilan dipotong menjadi 19% pada April 2023 dengan sekitar 31 juta orang memperoleh pengahasilan rata-rata £170 lebih banyak per tahun.

Mulai April 2023, akan ada tarif tunggal Pajak Penghasilan 40 persen, untuk penghasilan tahunan di atas £150.000. Sebelumnya, tarif pajak ini lebih tinggi sebesar 45%.

Pemotongan Stamp Duty atau Bea Materai akan membantu pasar properti dan membantu sekitar 200 ribu pembeli rumah bebas dari pajak.

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement