Sebagai pemberi pinjaman pilihan baru bagi negara-negara berpenghasilan rendah, China disebut memiliki 37 persen utang negara-negara tersebut pada 2020.
China menyalurkan utang melalui proyek new silk road untuk membiayai sejumlah pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, kereta api, dan infrastruktur darat di seluruh dunia. China juga ambisius mengejar realisasi proyek Belt and Road Initiative (BRI).
Tak terkecuali di Asia Tenggara, China juga mencengkramkan utang luar negerinya dalam bentuk sejumlah proyek.
Bahkan menurut riset ISEAS Singapura, Asia Tenggara merupakan salah satu penerima utama pendanaan pembangunan China,
Di Asia Tenggara, berdasarkan data Global Chinese Development Finance (GCDF) pada 2017 mencatat terdapat sebanyak 54 contoh pinjaman pembangunan yang dijaminkan kepada China dengan total USD23,9 miliar (mata uang konstan 2017). (Lihat grafik di bawah ini.)
Dari sejumlah proyek tersebut, sekitar 95 persen dari pinjaman yang dijaminkan ini disalurkan ke sektor-sektor yang merupakan proyek strategis yang berkaitan dengan energi, pertambangan, transportasi dan komunikasi.
Namun, perlu dicatat bahwa sampel dari 54 proyek ini didasarkan pada apa yang dapat dan dikumpulkan oleh GCDF berdasarkan informasi yang tersedia untuk umum.
Untuk sebagian besar proyek, data mengenai rincian jaminan tidak tersedia. Meski demikian, masih terlalu sulit untuk mengklaim bahwa China telah membawa “perangkap utang” atau debt trap di kawasan ini. (ADF)