sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Harga Gula Rafinasi Naik hingga 36,8 Persen, Ternyata Ini Biang Keroknya

Economics editor Advenia Elisabeth/MPI
22/05/2023 16:04 WIB
Selama ini pelaku industri makanan dan minuman (mamin) Indonesia masih bergantung pada impor gula rafinasi.
Harga Gula Rafinasi Naik hingga 36,8 Persen, Ternyata Ini Biang Keroknya (FOTO:MNC Media)
Harga Gula Rafinasi Naik hingga 36,8 Persen, Ternyata Ini Biang Keroknya (FOTO:MNC Media)

IDXChannel - Gabungan Produsen Makanan dan Minuman (GAPMMI) mengatakan kenaikan harga gula rafinasi hingga 36,84% menjadi USD 26 sen per pon dari harga sebelumnya yakni USD 19 sen per pon terjadi karena gangguan produksi di negara produsen gula, yakni Thailand, India, Brazil dan Australia. 

Menurut Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman (GAPMMI) Adhi S Lukman, selama ini pelaku industri makanan dan minuman (mamin) Indonesia masih bergantung pada impor gula rafinasi. Hal ini dilakukan sesuai Permenperin No. 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional. 

“Sesuai Permenperin, gula rafinasi digunakan untuk gula industri. Pasokan nasional masih belum bisa memenuhi kebutuhan industri. Jadi masih bergantung pada ekspor,” ujar Ketua Umum GAPMMI, Adhi S Lukman dalam program Market Review IDX Channel, Senin (22/5/2023).

Gangguan yang terjadi di masing - masing negara berbeda antara satu dengan yang lainnya. Di antaranya adalah pengurangan area tanam di Thailand yang berimbas pada pengurangan hasil produksi gula rafinasi. Selain itu, gelombang panas di India juga menjadi penyebab pengurangan produksi. 

Sementara, gangguan yang terjadi di Brazil cukup berbeda dibandingkan dengan dua negara sebelumnya. Adhi mengatakan, terdapat pengalihan fungsi gula tebu di Brazil, dimana pabrik pengolahan tebu Brazil mengalihkan ekspor gula untuk memproduksi etanol. Hal ini dilakukan karena harga energi yang semakin mahal dan adanya pengurangan insentif untuk bahan bakar minyak (BBM) di Brazil. 

“Sehingga mereka lebih memproduksi Etanol. Ini patut diwaspadai karena otomatis pasokan gula dunia juga akan berkurang dengan adanya pengurangan ini,” imbuhnya. 

Kendati demikian, Adhi mengatakan pihaknya masih menunggu tambahan pasokan dari Australia yang dijadwalkan akan panen pada bulan Juni dan Juli mendatang. Tambahan pasokan tersebut pun diharapkan akan membantu untuk kembali menstabilkan harga. 

GAPMMI pun berharap pemerintah bisa mengantisipasi hal ini dengan tidak mengeluarkan aturan atau kebijakan baru yang membebankan industri makanan dan minuman. Sehingga pelaku industri bisa terus produktif dan berkontribusi terhadap pendapatan negara. 

“Selain itu, kami sedang mempertimbangkan apakah pemerintah perlu melakukan intervensi dengan menghapuskan bea masuk gula rafinasi secara sementara. Tentu ini perlu dilihat secara keseluruhan. Bila produktivitas industri meningkat, pada akhirnya negara diuntungkan melalui pajak yang diberikan,” pungkasnya. 


(SAN)

Advertisement
Advertisement