sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Inalum Proyeksikan Konsumsi Almunium Bakal Melonjak 600 Persen, Ini Pemicunya

Economics editor Ferdi Rantung
14/11/2025 23:15 WIB
PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) memproyeksikan kebutuhan nasional terkait alumina dan aluminium akan melonjak hingga 600 persen dalam 30 tahun ke depan.
Inalum Proyeksikan Konsumsi Almunium Bakal Melonjak 600 Persen, Ini Pemicunya. (Foto: Inews Media Group)
Inalum Proyeksikan Konsumsi Almunium Bakal Melonjak 600 Persen, Ini Pemicunya. (Foto: Inews Media Group)

IDXChannel - PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) memproyeksikan kebutuhan nasional terkait alumina dan aluminium akan melonjak hingga 600 persen dalam 30 tahun ke depan.

Peningkatan konsumsi aluminium ini terutama didorong transformasi besar di sektor kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dan ekspansi energi baru terbarukan yang kini membutuhkan aluminium dalam jumlah yang sangat besar.

Direktur Pengembangan Usaha Inalum Arif Haendra menegaskan bahwa Indonesia berada pada momentum penting untuk membangun industri aluminium yang terintegrasi dari hulu hingga hilir.

Ia menjelaskan bahwa sejak tahun 2018 hingga 2024, kebutuhan aluminium nasional masih sangat bergantung pada pasokan impor yang mencapai 54 persen , sementara kontribusi Inalum baru berada di level 46 persen. Ketergantungan ini dinilai tidak ideal, terutama karena aluminium merupakan bahan baku strategis untuk berbagai sektor industri masa depan.

“Konsumsi aluminium nasional akan meningkat sangat pesat, terutama karena kebutuhan untuk baterai kendaraan listrik dan pembangunan pembangkit energi surya. Kebutuhan ini menjelaskan urgensi percepatan hilirisasi,” ujar Arif di Sentul, Bogor, Jumat (14/11/2025).

Menurut Arif, hilirisasi mineral bauksit tidak lagi sekadar program industri, tetapi merupakan langkah strategis untuk menjaga ketahanan bahan baku nasional. Dengan proyeksi lonjakan konsumsi yang begitu besar, Indonesia membutuhkan percepatan pembangunan fasilitas Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) serta smelter aluminium baru.

Arif menjelaskan bahwa industri aluminium berjalan melalui rantai produksi yang sangat terintegrasi. Untuk menghasilkan 1 ton aluminium, dibutuhkan sekitar 6 ton bauksit untuk diolah menjadi 2 ton alumina, sebelum melalui proses elektrolisis di smelter. Tahapan ini membuat investasi hulu dan hilir harus berjalan paralel dan terencana.

“Inilah sebabnya Inalum menempatkan pengembangan SGAR tahap 1 dan tahap 2, serta pembangunan smelter baru dan ekspansi potline, sebagai agenda prioritas perusahaan,” ujar Arif.

Dalam paparannya, Arif menyampaikan bahwa Inalum kini mengoperasikan smelter aluminium primer dengan kapasitas 275 ribu ton per tahun, smelter sekunder berkapasitas 30 ribu ton, serta pembangkit listrik tenaga air (hydropower) sebesar 603 MW untuk mendukung kebutuhan energi operasional. Untuk menjawab kebutuhan nasional yang meningkat pesat, perusahaan telah menyiapkan rencana ekspansi besar-besaran.

Dalam lima tahun mendatang, Inalum menargetkan peningkatan kapasitas produksi aluminium menjadi 900 ribu ton per tahun. Di saat yang sama, produksi alumina ditargetkan mencapai 2 juta ton pada tahun 2029.

Ekspansi ini mencakup pembangunan Potline-4 dengan kapasitas awal 100 ribu ton (dengan opsi perluasan hingga 200 ribu ton), serta revamping fasilitas produksi lama (PL1 & PL3) yang akan menambah kapasitas sekitar 45 ribu ton.

“Ekspansi ini bukan sekadar peningkatan volume, tetapi membangun fondasi bagi industrial estate aluminium yang terintegrasi, kompetitif, dan berkelanjutan. Ini akan memperkuat kemampuan Indonesia untuk memasok kebutuhan nasional sekaligus menjadi pemain penting di pasar aluminium global,” kata Arif.

Arif menegaskan hilirisasi aluminium tidak bisa dilakukan oleh Inalum sendirian. Ekosistem industri aluminium sangat bergantung pada dukungan lintas kementerian, terutama terkait pasokan energi, tata ruang, lingkungan, pembiayaan, hingga regulasi industri.

Ia menjelaskan bahwa percepatan pembangunan SGAR dan smelter baru membutuhkan koordinasi erat antara Kementerian BUMN, Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian ATR/BPN, serta Pemerintah Daerah Kalimantan Barat yang menjadi lokasi proyek.

“Industri aluminium adalah industri energi-intensif. Konsistensi pasokan listrik—lebih baik lagi jika berbasis energi hijau—menjadi faktor penentu daya saing. Karena itu, dukungan pemerintah sangat penting untuk memastikan semua proyek hilirisasi dapat berjalan cepat,” kata Arif.

Inalum juga menegaskan visi perusahaan untuk menjadi perusahaan global berbasis aluminium terpadu yang ramah lingkungan. Komitmen keberlanjutan diwujudkan melalui peningkatan kompetensi SDM secara berkelanjutan, operasional yang aman, serta pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat melalui CSR.

“Kami selalu berkomitmen menjaga kesinambungan lingkungan dan memperkuat kapasitas SDM. Ekspansi industri harus berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penguatan ekonomi nasional,” ujar Arif.

Dengan roadmap hilirisasi dan ekspansi produksi ini, Inalum optimistis dapat menjadi motor utama percepatan industrialisasi aluminium Indonesia dan mendukung agenda besar pemerintah dalam transisi energi, penguatan rantai pasok nasional, serta peningkatan nilai tambah dalam negeri.

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement