Dia melanjutkan, ketergantungan pada energi fosil tidak akan berakhir kalau Indonesia tidak secara cepat meningkatkan kapasitas energi terbarukan. Menurut dia, fokus kebijakannya bukan lagi batubara sebagai pilihan pertama (coal as the first option), tapi energi terbarukan yang harus menjadi pilihan utama.
"Jadi transisi energi perlu dirancang benar-benar, dengan prioritas kembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan sebanyak-banyaknya dan mengoptimalkan efisiensi energi," ungkapnya.
Fabby menekankan bahwa keputusan untuk menghentikan secara bertahap bahan bakar fosil, terutama PLTU merupakan hal yang inevitable (tak terhindarkan). Tidak saja dari perspektif penyelamatan iklim tapi juga dari sisi keekonomian teknologi.
"Terutama dengan adanya inovasi dan harga teknologi energi terbarukan dan teknologi penyimpanan (storage) sudah lebih kompetitif terhadap energi fosil, pemanfaatan energi terbarukan untuk menjamin keandalan penyediaan energi untuk mencapai net-zero emission menjadi semakin layak," ungkap Fabby.
Hasil analisis IESR dari kajian Dekarbonisasi Sistem Energi di Indonesia memproyeksikan energi terbarukan yang dilengkapi dengan baterai penyimpanan akan meningkat signifikan pada tahun 2045.
Pangsa baterai akan mencapai 52% dari total sistem penyimpanan, diikuti oleh hidrogen sebesar 37% dan sistem penyimpanan lainnya sekitar 11%. Pangsa permintaan listrik yang dicakup oleh penyimpanan energi meningkat secara signifikan dari sekitar 2% pada tahun 2030 menjadi 29% pada tahun 2045. Sedangkan untuk pengguna utama penyimpanan baterai akan berasal dari sistem skala utilitas, dan dalam skala yang lebih kecil dari kawasan komersial dan industri, serta sistem perumahan. (TIA)