IDXChannel - Rencana pengalihan impor migas sebesar USD15 miliar atau sekitar Rp240 triliun ke Amerika Serikat (AS) membuktikan bahwa industri hulu migas masih sangat penting bagi perekonomian Indonesia.
Impor tersebut memang dibutuhkan karena produksi migas dalam negeri cenderung melambat dibanding dua dekade sebelumnya. Di sisi lain, konsumsi minyak justru terus meningkat seiring bertambangya populasi.
Berdasarkan catatan ReforMiner, produksi minyak pada 2001 masih berada di kisaran 1,2 juta barel per hari (bph). Sejak saat itu, produksi minyak terus turun, dan berada di kisaran 700.000 bph pada 2020. Bahkan pada 2024 lalu, produksi minyak Indonesia hanya sebesar 580.000-an bph.
“Kondisi ini berimbas pada kebutuhan impor minyak untuk mengamankan pasokan di dalam negeri. Impor ini bisa dikurangi apabila cadangan dan produksi minyak nasional bisa ditingkatkan,” ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro dalam diskusi di Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Seperti diberitakan sebelumnya, pada negosiasi dagang antara AS dengan Indonesia, impor migas menjadi salah satu poin kesepakatan penurunan tarif dari sebelumnya 32 persen menjadi 19 persen. Selain itu, AS juga memiliki akses ekspor ke Indonesia untuk sejumlah komoditas lain dengan tarif nol persen.
Komaidi menambahkan, selain untuk pemenuhan konsumsi, sektor hulu migas nasional juga berperan strategis dalam meningkatkan manfaat ekonomi dari kebijakan hilirisasi migas.
“Pelaksanaan hilirisasi migas tanpa memperhatikan industri hulu migas nasional akan kehilangan esensinya. Hilirisasi migas akan menjadi relevan jika terdapat keberadaan industri hulu migas,” katanya.
Menurut Komaidi, kajian ReforMiner mencatat investasi sebesar Rp1 triliun untuk hilirisasi migas pada industri petrokimia akan menghasilkan nilai tambah ekonomi sekitar Rp12,81 triliun jika memanfaatkan hasil produksi migas dari dalam negeri. Namun, jika hilirisasi menggunakan produk migas impor, nilai tambah ekonomi yang dapat dihasilkan akan turun menjadi hanya sekitar Rp7,53 triliun.
Lebih lanjut, ujar Komaidi, di tengah peran pentingnya tersebut industri hulu migas nasional dihadapkan pada sejumlah tantangan dan kendala yang berdampak terhadap kecenderungan menurunnya cadangan dan produksi migas nasional.
Tantangan yang dimaksud di antaranya, pertama kompleksitas perizinan berusaha, ketergantungan yang tinggi terhadap mature field yang memerlukan perlakuan khusus terutama dalam aspek fiskal/perpajakan dan adanya risiko pergeseran permasalahan perdata menjadi pidana akibat tidak adanya pemisahan urusan administrasi dan keuangan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan keuangan negara.
ReforMiner menilai, penyelesaian permasalahan pada industri hulu migas nasional tersebut dapat dilakukan dengan mengembalikan tiga elemen fundamental dalam Kontrak Kerja Sama (KKS) yang selama ini hilang dari regulatory framework UU Migas No. 22/2001.
Hilangnya ketiga elemen tersebut menyebabkan regulatory framework UU Migas No. 22/2001 tidak sinkron dengan bentuk KKS sehingga memunculkan persoalan seperti ketidakpastian hokum, ketidakpastian fiskal, dan proses administrasi/birokrasi/izin yang rumit.
“Tiga elemen yang hilang itu perlu dikembalikan dalam revisi UU Migas agar kegiatan industri hulu migas kembali meningkat meliputi penerapan assume and discharge dalam perpajakan KKS, pemisahan urusan administrasi dan keuangan KKS dengan urusan keuangan negara, dan penerapan prinsip single door bureaucracy/single institution model yang mengurus administrasi/birokrasi/perizinan Kontrak Kerja Sama,” kata Komaidi.
(Dhera Arizona)