IDXChannel - Indonesia merupakan salah satu negara produsen nikel terbesar di dunia, namun sayangnya bijih nikel yang menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik terpaksa diekspor karena industri dalam negeri belum siap.
CEO Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus mengatakan bahwa situasi itu terjadi lantaran belum siapnya industri anoda domestik untuk melanjutkan serapan turunan dari mix hydroxide precipitate (MHP) seperti nikel sulfat (NiSO4) dan Cobalt Sulfat (CoSO4).
“MHP kita masih ekspor karena kita belum olah di dalam negeri sampai ke sulfat ke packing menjadi sel, itu masih tahap satu setelah bijih nikel, karena siapa yang mau beli,” kata Alex di Jakarta, Rabu (12/10/2022).
Alex menuturkan, nilai tambah dari kegiatan hilirisasi tambang nikel di Morowali sebagian besar justru terjadi di luar negeri. Dia meminta pemerintah untuk segera menggalakan pembangunan industri perantara hingga hilir untuk menyerap limpahan nikel hasil pemurnian tersebut.
“Sekarang kita produksi prekursor dan katoda tapi di dalam negeri tidak ada industri anodanya tetap saja harus ekspor, proses hilirisasi harus disambung dengan industri, baru nilai tambah kita dapatkan,” kata Alex.
Kawasan industri IMIP yang melingkupi luasan tambang nikel mencapai 43.000 hektare itu sudah memproduksi nickel pig iron (NPI) sebesar 3,63 juta MTPY per tahun. Selain itu, kawasan industri IMIP juga memproduksi katoda mencapai 195.000 per MTPY dari 3 industri.
Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo atau Jokow kembali menyampaikan bahwa hilirisasi industri mampu meningkatkan hasil ekspor Indonesia. Dia mencontohkan, nilai ekspor komoditas nikel dapat bertambah dari Rp15 triliun menjadi Rp360 triliun setelah proses hilirisasi.
“Saya kasih contoh bolak-balik nikel. Saat masih ekspor bahan mentah setahun nilainya kira-kira Rp15 triliun, setelah masuk ke industrialisasi, hilirisasi, menjadi USD20,9 juta, ini sudah di angka Rp360 triliun. Dari Rp15 triliun melompat menjadi Rp360 triliun, itu baru satu barang kita miliki,” kata Presiden Jokowi.
Dia juga menyinggung soal potensi aspal di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Dia menyebut bahwa terdapat deposit aspal di daerah tersebut yang mencapai 662 juta ton.
Jokowi mengatakan, 662 juta ton aspal tersebut dulunya pernah diolah di Pulau Buton itu, hanya saja pengolahan aspal tersebut terhenti. Pengusaha cenderung lebih memilih impor aspal karena alasan lebih murah.
“Katanya aspal impor lebih murah sehingga yang terjadi 95 persen aspal kita itu aspal impor padahal punya deposit di buton 662 juta ton, ini bener,” ujarnya.
Selain itu, mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga mengatakan nilai tambah dari program hilirisasi produk tambang mentah belakangan sudah menunjukkan hasil yang positif.
Selain neraca dagang yang berbalik positif dengan sejumlah mitra kuat, pendapatan negara dari sektor pertambangan juga makin besar pada tahun ini.
Jokowi memastikan nilai tambah itu berpotensi untuk terus tumbuh seiring dengan target sejumlah pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan mineral logam atau smelter besar yang diharapkan rampung pada 2024.
Misalkan, Jokowi mencontohkan, pengerjaan untuk smelter konsentrat tembaga di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE, Gresik, Jawa Timur yang pengerjaannya belakangan dipercepat selepas pelandaian pandemi tahun ini.
“Setelah Gresik beroperasi akan kelihatan berapa nilai tambah dari copper yang sudah lebih dari 50 tahun kita ekspor mentahan, begitu juga dengan bauksit akan muncul angka-angka di atas USD30 miliar entah dari nikel, tembaga bauksit saya pastikan itu,” ujar Presiden Jokowi. (RRD)