sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Inflasi hingga Harga BBM, Krisis Energi Dunia Ancam Ekonomi Indonesia

Economics editor Anggie Ariesta
11/10/2021 10:55 WIB
Lonjakan harga energi bakal berdampak pada peningkatan harga komoditas lainnya.
Lonjakan harga energi bakal berdampak pada peningkatan harga komoditas lainnya.  (Foto: MNC Media)
Lonjakan harga energi bakal berdampak pada peningkatan harga komoditas lainnya. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Saat ini sejumlah negara seperti Eropa dan China hingga India tengah terjadi krisis energi yang ditandai dengan meroketnya harga gas dan batu bara, serta disusul dengan kenaikan harga minyak. Hal itu didorong meroketnya kebutuhan gas di Eropa yang mengakibatkan impor Liquified Natural Gas (LNG) meningkat. Impor tersebut sebagian berasal dari pasar Asia Pasifik.

Di sisi lain, kondisi pemulihan ekonomi di China telah mendorong peningkatan permintaan komoditas energi. Hal ini diperparah dengan adanya embargo supply batu bara dari Australia, yang menyebabkan harga batu bara mencapai tingkat tertinggi selama sejarah, melebihi USD250 per ton awal Oktober ini.

Gubernur Indonesia untuk OPEC 2015-2016 Widhyawan Prawiraatmadja mengatakan, lonjakan harga energi bakal berdampak pada peningkatan harga komoditas lainnya. Hal itu akan diikuti naiknya layanan jasa, sehingga berpotensi mengancam kenaikan inflasi, terlebih Indonesia yang rentan dan masih ketergantungan terhadap impor.

"Kondisi Indonesia sangat rentan terhadap peningkatan harga energi primer, khususnya minyak bumi yang ketergantungan impornya tinggi. Ditambah lagi, harga produk BBM dan elpiji 3 kilogram masih disubsidi," kata Widhyawan dikutip Senin (11/10/2021).

Di sisi lain, lanjut pengamat energi itu, yang tidak kalah penting adalah terkait transisi energi. Kebijakan transisi yang hanya melihat pada kebutuhan jangka pendek dapat mendorong terjadinya underinvestment dalam menghadapi pertumbuhan permintaan energi bersih maupun bersih fosil yang saat ini masih meningkat.

"Implementasi energi transisi yang tidak matang dapat menyebabkan Indonesia menjadi rentan ketika terjadi gangguan pasokan baik dalam negeri maupun dalam konteks global seperti saat ini," ujarnya.

Menurut Widhyawan, sebagai negara eksportir batu bara yang besar, Indonesia sangat diuntungkan dengan adanya kenaikan harga. Sementara sebagian dari LNG Indonesia juga ada yang di ekspor dan tentunya hal ini menguntungkan.

Namun, tekanan berat memang tak bisa dihindari dari komoditas minyak mentah, kenaikan harga BBM dan LPG. Sebab sebagian besar kebutuhan Indonesia masih impor.

"Terutama LPG yang ketergantungan impornya sudah mendekati 70%. Impor sekitar 6 juta ton per tahun untuk kebutuhan sekitar 8,8 juta ton per tahun," katanya.

Dia menambahkan, untuk kepentingan nasional, sebaiknya harga minyak tidak terlalu tinggi. Hal itu karena akan meningkatkan beban pemerintah berupa subsidi yang lebih tinggi, karena harga yang ditentukan pemerintah tidak mudah disesuaikan di tengah kondisi Covid-19.

Ditambah lagi dengan kinerja ekspor Indonesia yang cukup kuat, maka neraca dagang surplus sudah berlangsung cukup lama dan cadangan devisa Indonesia mencapai yang tertinggi sepanjang sejarah, total lebih dari USD140 miliar. Hal itu membuat rupiah menguat, sehingga kondisi ini cukup menolong Indonesia di tengah kondisi yang masih ketergantungan impor BBM dan LPG. (TIA)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement