IDXChannel - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan penurunan inflasi tahunan pada Mei 2023 menjadi sebesar 4 persen. Ini menjadi tren perlambatan sejak Maret 2023, sekaligus menjadi inflasi terendah sejak awal tahun ini.
Inflasi tahunan pada Mei 2023 banyak disumbang oleh sejumlah komoditas pangan seperti telur ayam ras, bawang putih, beras, air kemasan, rokok putih, rokok kretek filter, rokok kretek, tarif listrik, sewa rumah, bahan bakar rumah tangga, kontrak rumah, dan upah asisten rumah tangga. (Lihat grafik di bawah ini.)
Laju inflasi Mei 2023 juga masih sangat dipengaruhi oleh kenaikan harga di sektor angkutan dalam kota, angkutan antarkota, mobil, solar, bensin, biaya akademi/perguruan tinggi, nasi dengan lauk, dan emas perhiasan.
Sementara, komoditas yang menyumbang deflasi atau penurunan harga adalah daging ayam ras, daging sapi, cabai merah, cabai rawit, minyak goreng, dan telepon seluler.
Adapun penyumbang inflasi paling besar terjadi di sektor transportasi dengan kenaikan mencapai 10,62% yoy.
Selain itu, perawatan pribadi dan jasa lainnya menyumbang inflasi 4,48%. Segmen makanan, minuman dan tembakau menyumbang 4,27% dan penyediaan makanan dan minuman/restoran menyumbang inflasi 3,38%.
Perlengkapan, peralatan dan pemeliharaan rutin rumah tangga: 3,03% (yoy)
Sektor pendidikan juga mengalami inflasi 2,75% dan kesehatan menyumbang inflasi 2,52%.
Perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga menyumbang inflasi 2,48% dan rekreasi, olahraga, dan budaya menyumbang inflasi 2,18%. Adapun pakaian dan alas kaki juga menyumbang inflasi sebesar 1,54%.
Sektor informasi, komunikasi, dan jasa keuangan justru mengalami penurunan harga atau deflasi sebesar 0,27% yoy.
Inflasi Turun Cepat, Sudahkah Tepat Sasaran?
Pencapaian penurunan inflasi RI bisa terbilang impresif. Hal ini karena cepatnya pengendalian inflasi oleh kebijakan moneter bank sentral.
Diketahui sebelumnya Bank Indonesia tetap menahan laju suku bunga BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 5,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada 24-25 Mei 203 lalu.
"Ini membuktikan memang langkah untuk pengendalian permintaan dari sisi moneter cukup berhasil," terang Perry saat ditemui awak media di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senin (5/6).
Sejak 2022, Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga acuan dengan total kenaikan mencapai 225 basis poin (bps). Kenaikan ini tercatat sejak Agustus tahun lalu sebagai upaya pengendalian inflasi fundamental melalui kebijakan moneter.
Kenaikan suku bunga acuan ini berhasil membawa inflasi inti bergerak di kisaran sasaran 3% yoy di mana pada Mei 2023 inflasi inti tercatat 2,66% yoy, turun dari bulan sebelumnya sebesar 2,83% yoy.
Namun, benarkah penurunan inflasi sudah dirasakan oleh semua pihak?
Pada prinsipnya, penurunan inflasi berarti adalah penurunan harga-harga. Namun, tidak semua harga-harga mengalami penurunan dan tidak semua kelompok masyarakat akan merasakan penurunan inflasi.
Banyak beberapa barang dan jasa yang harganya belum benar-benar turun. Hal ini karena setiap orang merasakan beban inflasi secara berbeda. Mengutip CNN Internasional, sebagai ilustrasi, seorang vegan tidak terpengaruh oleh kenaikan harga telur.
Sebagai informasi, menurut data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, per 5 Juni 2023, rata-rata harga telur ayam di Indonesia mencapai Rp 32.000 per kg, sekaligus mendekati rekor termahal dalam lima tahun terakhir.
Di sektor transportasi, jika konsumen berkendara ke tempat kerja setiap hari, maka konsumen juga akan menghadapi kenaikan harga untuk hampir semua hal yang berkaitan dengan mobil atau motor, mulai dari asuransi hingga biaya perbaikan dan pemeliharaan.
Hal ini juga terlihat dari biaya transportasi yang juga masih tinggi dan akan membebani kemampuan fiskal setiap individu.
Di tengah kondisi ini, memiliki anak juga menambah beban fiskal, terutama anak usia sekolah. Tercatat inflasi pendidikan berada di level 2,75% pada Mei 2023. Jika dibandingkan, pada Juni 2022, inflasi pendidikan masih berada di level 1,68% menurut data BPS.
Inflasi secara tidak proporsional juga akan merugikan orang-orang berpenghasilan rendah. Terlebih, standar Garis Kemiskinan kini sudah tidak relevan dan saatnya dievaluasi.
Selama ini pemerintah masih dihadapkan dengan persoalan standar angka yang digunakan dalam mengukur kemiskinan ekstrem.
Selama ini, pemerintah membuat batasan masyarakat miskin ekstrem dengan angka purchasing power parity (PPP) sebesar USD 1,9. Padahal, angka ini berbeda dengan batasan kemiskinan ekstrem berdasarkan SDGs atau secara global sebesar USD2,15.
Dalam hal ini, inflasi otomatis akan memukul orang miskin ekstrim meskipun mengalami penurunan.
“Rumah tangga yang lebih miskin membelanjakan sebagian besar pendapatan mereka untuk pengeluaran yang tidak dapat dihindari seperti makanan dan energi, yang membuat mereka lebih rentan terhadap inflasi,” kata kepala ekonom Kroll Institute, Megan Greene dikutip CNN Internasional, Rabu (10/5/2023). (ADF)