sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Ini Kata Ekonom soal Untung dan Rugi Indonesia Gabung BRICS

Economics editor Atikah Umiyani
25/10/2024 21:12 WIB
Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS menuai respons dari ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, yang menyebut isu itu sudah lama.
Menteri Luar Negeri Sugiono saat menghadiri KTT BRICS di Kazan, Rusia, pekan ini. (Foto: Dok. Kemlu)
Menteri Luar Negeri Sugiono saat menghadiri KTT BRICS di Kazan, Rusia, pekan ini. (Foto: Dok. Kemlu)

Sementara BRICS ingin melakukan terobosan dari yang paling ekstrem yaitu Dedolarisasi dengan membentuk mata uang alternatif pengganti US Dolar, seperti dipelopori Rusia dan China. Moskow pun semakin semangat mewujudkannya setelah negara Barat membekukan aset-aset Rusia di luar negeri menyusul konflik Ukraina. Tindakan Barat itu pun membuat banyak negara lain bertanya-tanya. 

"Jika (pembekuan aset) ini bisa terjadi pada Rusia, pasti bisa juga terjadi pada mereka. Hingga agenda yang lebih moderat, seperti kerja sama dagang dan pembentukan sistim pembayaran alternatif menggunakan mata uang lintas negara BRICS, ide ini dimotori salah satunya oleh India," ujar Wijayanto. 

Dia menuturkan, kalaupun akhirnya Indonesia memutuskan bergabung dengan BRICS, idealnya republik ini menjadi bagian moderat yang mendorong kerjasama dagang serta mewujudkan sistem pembayaran baru yang tidak terlalu tergantung pada USD. 

Apalagi, sistem moneter saat ini cenderung tidak sehat karena USD mewakili lebih dari 90 persen reserve dan mata uang perdagangan dunia. Selain itu, Amerika Serikat juga cenderung menyalahgunakan posisi itu dengan menerbitkan utang berlebih yang kemudian dibiayai oleh banknote yang mereka terbitkan. 

"Idealnya USD akan tetap menjadi mata uang penting, tetapi dunia perlu alternatif. Hal ini agar otoritas moneter dan Pemerintah Amerika Serikat lebih berhati-hati mengelola ekonominya," katanya.

Karena itu, Wijayanto menyampaikan bahwa skenario terbaik adalah bergabung dengan keduanya seperti yang coba dilakukan Thailand dan Turki, yang merupakan anggota OECD namun mendaftar menjadi anggota BRICS, karena memang tidak ada ketentuan formal yang tidak memungkinan hal ini terjadi. 

Kemudian, skenario terbaik kedua adalah memilih salah satu. Namun apabila harus memilihi, maka Indonesia harus memprioritaskan forum yang lebih menghargai posisi Indonesia. Indikatornya sederhana, yaitu yang paling mungkin dieksekusi dengan cepat.

"Jika memilih OECD, tentunya kita perlu afirmasi bahwa berbagai perjanjian dagang yang masih menggantung, akan segera dituntaskan. The worst scenario adalah kita dalam posisi digantung; tidak menjadi bagian dari keduanya adalah, akibat kita ragu menentukan sikap. Kita sudah terlalu lama dalam posisi ini dan harus segera diakhiri," kata Wijayanto. 

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement