Pada 2018, Arab Saudi terus memperbaiki perekonomiannya. Tercatat penerimaan negara naik menjadi 783 miliar riyal atau setara Rp2.900 triliun dan defisit tercatat 195 miliar riyal atau setara Rp732 triliun sementara utang negara naik ke angka 558 miliar riyal atau sekitar Rp2.095 triliun.
Memasuki tahun 2020, pandemi membuat Menteri Keuangan Saudi Mohammed Al Jaddan memprediksi bahwa penerimaan negara turun menjadi 833 miliar riyal (Rp3.128 triliun). Pada saat bersamaan Arab Saudi harus menghadapi masalah politik setelah Amerika Serikat (AS) menembakkan rudal ke arah iring-iringan jenderal tertinggi Iran Qassem Solemani.
Saudi terpaksa mencetak obligasi sebesar 18,75 miliar riyal (Rp70 triliun).
Pandemi juga turut menyeret ekonomi Saudi. Ini membuat permintaan pasar akan minyak dan larangan bepergian bagi jamaah haji dan umrah, serta dana besar penanganan Covid-19.
Akhirnya Saudi berhutang lagi. Pemerintah juga merevisi target pendapatan menjadi 770 miliar riyal (Rp2.891 triliun), turun 16,9% dibanding 2019. Sementara utang diprediksi membengkak menjadi 941 miliar riyal (Rp3.533 triliun), melonjak 32,9% dibanding 2019.
Sepanjang periode Januari-Juni 2022 Arab Saudi juga didapuk sebagai penerima dana terbesar program Belt and Road Initiative (BRI) China. Hasil riset lembaga Green Finance and Development Center (GSDC) menyebutkan, Arab Saudi menerima dana sebesar USD5,5 miliar atau sekitar Rp82,5 triliun di semester I-2022.