IDXChannel - Sejarah inflasi negeri Paman Sam dan kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserves (The Fed) selalu menarik untuk diikuti. Pasalnya, negara satu ini menjadi patron utama ekonomi dunia.
Apa yang terjadi di AS, sedikit banyak akan berdampak bagi banyak perekonomian banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.
Pekan ini mata dunia sedang tertuju pada the Fed. Jelang pengumuman suku bunga hasil dari rapat Federal Open Market Committee (FOMC) bulan ini yang berakhir pada Kamis (22/9) dini hari waktu Indonesia, pasar sedang harap-harap cemas. Saat ini, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan ke level 75 basis poin.
Melansir Bloomberg, Senin (19/9/2022), kemungkinan langkah kebijakan yang lebih agresif akan diambil The Fed. Investor bahkan memperkirakan sekitar 24 persen kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga ke level 100 basis poin.
Tercatat kenaikan suku bunga The Fed sudah terjadi empat kali sepanjang tahun 2022 ini. Bank Sentral ini telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 150 basis poin (bps) sepanjang semester pertama 2022.
The Fed mulai menaikkan suku bunga acuan 25 bps pada kisaran 0,25-0,5% pada Maret 2022. Pada Mei 2022 kenaikan menyentuh level 50 bps ke kisaran 0,75-1% karena peningkatan tekanan inflasi AS.
Bulan berikutnya, Juni 2022 The Fed lanjut menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps ke kisaran 1,5-1,75%. The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis points (bps) ke kisaran 2,25%-2,5% pada akhir Juli 2022. (Lihat tabel di bawah ini)

'The Volcker Shock' Bakal Terulang?
Siyal kenaikan kali ini tak terbendung setelah pengumuman inflasi AS pada bulan Agustus masih menyentuh angka 8,3 persen.
Angka ini menurun dibanding bulan Juni yang menyentuh level tertinggi 9,1 persen, tetapi masih belum sesuai ekspektasi pasar. (Lihat tabel di bawah ini)

Banyak analis ekonomi menyebut Ketua The Fed, Jerome Hayden "Jay" Powell, sebagai ‘titisan’ Paul Volcker jika tetap ‘ngotot’ menaikkan suku bunga lagi.
Mengutip Wall Street Journal (WSJ), dalam pidatonya, Powell menyampaikan pidato singkat yang tidak biasa dengan pesan sederhana, “The Fed akan menerima resesi sebagai harga untuk memerangi inflasi”.
Amerika pernah mengalami krisis parah di era 1980-an. Tepatnya pada tahun 1981, AS berada di tengah-tengah kondisi brutal akibat inflasi dua digit dalam waktu kurang dari satu dekade. Selama tahun 1980 -an, rezim kebijakan moneter The Fed ini dikenal sebagai "Volcker Shock."
Paul Volcker, ketua The Fed saat itu, diyakini sebagai ‘santo’ berakhirnya krisis. Volcker mengendalikan inflasi melalui kebijakan setara kemoterapi dengan merekayasa dua resesi besar, untuk memangkas pengeluaran dan memaksa inflasi ke level bawah.
Inflasi periode 1978-1982 menjadi yang terburuk bagi AS dalam beberapa dekade. Karena The Fed memilih kebijakan menaikkan suku bunga secara agresif.