IDXChannel—Artikel ini akan mengulas tentang jenis-jenis perdagangan karbon. Saat ini, ada tiga skema perdagangan pada pasar karbon, yakni cap and trade, clean and development mechanism, dan REDD+.
Beberapa tahun belakangan, topik soal perdagangan karbon mulai bergulir di kalangan pelaku industri. Namun isu ini belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat awam. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan perdagangan karbon?
Perdagangan dan pasar karbon tercipta dari upaya pemerintah negara-negara dunia untuk mengatasi krisis iklim dengan cara menekan produksi karbon. Pembahasan soal penanganan pemasanan global ini sudah dimulai sejak 1972 di Stockholm, diinisiasi oleh PBB.
Pertemuan-pertemuan para perwakilan pemerintahan negara dunia terus berlangsung selama beberapa dekade kemudian. Akhirnya pada 12 Desember 2015, di Paris, sebanyak 195 pemerintahan akhirnya menyepakati Paris Agreement.
Perjanjian itu bersifat sukarela, semua negara yang menyepakatinya berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon dan memastikan agar suhu global tidak naik lebih dari dua derajat celsius, dan menjaga kenaikan suhu agar tetap di bawah 1,5 deratar celsius.
Paris Agreement berlaku efektif mulai 4 November 2016. Semua negara yang terlibat harus menyerahkan Nationally Determined Contributions (NDCs), yang tak lain adalah rencana pengurangan emisi sekaligus strategi penerapannya, tiap lima tahun sekali.
Dari sinilah perdagangan karbon mulai tercipta. Negara-negara memberlakukan kebijakan yang berbeda soal emisi karbon, beberapa di antaranya ‘menjatah’ hak pelaku industri untuk menghasilkan karbon dalam setahun, ada pula yang menerapkan pajak karbon.
Dalam praktiknya, perdagangan karbon terjalin antar negara dan antar pelaku industri. Para pelaku industri yang menghasilkan karbon dalam kegiatan usahanya, bisa menjalin kesepakatan penanganan karbon dengan pihak atau negara lain.
Seperti apa jenis perdagangan karbon yang kini berlaku di dunia? Dihimpun dari berbagai sumber, berikut penjelasannya.
Jenis-Jenis Perdagangan Karbon di Dunia
Cap and Trade
Adalah skema jual beli surat berharga atau sertifikat karbon. Beberapa negara mulai menerapkan kebijakan sertifikat karbon untuk sektor industri yang berfungsi layaknya izin emisi untuk mengurangi pelepasan emisi.
Dengan skema ini, para pelaku industri diperbolehkan melakukan kegiatan usaha yang menghasilkan karbon sesuai jatah izin emisinya. Dilansir dari Icdx.co.id (23/8), pemerintah berupaya mengurangi emisi dengan mengalokasikan kuota kredit di awal periode.
Jika dulu pelaku industri bisa melepaskan karbon secara cuma-cuma, kini mulai dibatasi dengan pemberlakuan sertifikat izin emisi ini. Pelaku industri yang terkena pembatasan harus melaporkan emisi yang dihasilkan secara berkala kepada lembaga yang ditunjuk.
Tiap-tiap industri diberikan porsi kredit tersendiri, tergantung pada jenis industri dan potensi karbon yang dihasilkan dari kegiatan usahanya. Pelaku industri yang menghasilkan karbon lebih dari jatah izinnya otomatis berstatus offset, atau kelebihan emisi.
Dari sini, muncul kebijakan cap and trade dan cap and tax. Skema pertama adalah pembelian kredit emisi oleh pelaku industri yang menghasilkan kelebihan emisi karbon kepada pelaku industri yang menghasilkan emisi karbon di bawah jatahnya.
Sementara cap and tax adalah sistem denda atau pajak yang dikenakan kepada pelaku industri jika kegiatan usahanya terbukti menghasilkan karbon lebih dari jatah izin emisinya.
Clean and Development Mechanism (CDM)
Skema ini muncul sebagai alternatif, sebab bukan tak mungkin dalam satu negara semua pelaku industri menghasilkan emisi karbon melebihi jatahnya. Sebagai informasi, satu unit kredit atau sertifikat karbon biasanya setara dengan penurunan emisi satu ton.
Skema ini dijalankan dengan investasi atau pendanaan pembangunan infrastruktur proyek-proyek ramah lingkungan. Biasanya, proyek yang terealisasi dengan CDM adalah pembangunan PLTS atau PLTU.
Negara lain bisa menerima investasi pendanaan CDM untuk membangun infrastruktur proyek ramah lingkungan untuk membantu pelaku industri menyeimbangkan emisi karbon yang dihasilkannya.
Perusahaan yang melakukan skema ini akan memperoleh imbalan berupa penggantian sertifikat emisi tambahan untuk menutup kelebihan emisi karbonnya sendiri.
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+)
Skema ini tidak dijalankan dengan membeli sertifikat karbon ataupun berinvestasi pada proyek ramah lingkungan, namun dengan menjaga kelestarian alam—dalam hal ini hutan—yang memiliki potensi besar untuk menyerap karbon.
Pelaku industri yang menggunakan skema ini berinvestasi untuk pemeliharaan kawasan penyerap karbon, lalu akan mendapatkan kredit karbon tambahan. Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi target lokasi konservasi REDD+.
Seperti yang diketahui, wilayah Indonesia memiliki banyak hutan hujan yang perlu dikonservasi. Hutan Indonesia diperkirakan menyumbang 75-80% kredit karbon dunia, sehingga perdagangan karbon ini berpotensi membawa pendanaan proyek hijau bagi Indonesia.
Meskipun isu perdagangan karbon ini masih terbilang baru, pemerintah Indonesia telah menerbitkan peraturan tentang pasar karbon, yakni Perpres 98/2021. Dengan regulasi ini, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan pendanaan dari proyek-proyek kredit karbon.
Selain itu, perpres ini juga bermanfaat untuk capaian target NDC Indonesia. Dalam perpres ini, pemerintah mengatur beberapa mekanisme perdagangan karbon, antara lain:
- Skema cap and trade antara dua pelaku usaha
- Pengimbangan emisi lewat skema carbon offset
- Pembayaran berbasis kinerja
- Pungutan atas karbon
- Kombinasi dari skema yang ada
Demikianlah ulasan singkat tentang jenis-jenis perdagangan karbon yang berlaku di dunia saat ini. (NKK)