Pertama, setiap nyawa yang hilang tentu amat berharga dan tidak dapat tergantikan dengan apapun juga. Kedua, angka kematian terus naik dari hari ke hari.
"Memang tanggal 19, 20 dan 21 Februari angkanya turun dibawah 200 orang, tetapi kemarin 22 Februari 2022 kita tentu berduka cita mendalam dengan wafatnya 257 warga kita, jumlah tertinggi di masa Omicron. Pada 6 Januari 2022 ada 4 warga yang wafat karena COVID-19, jadi sekarang sudah meningkat lebih 50 kali lipat," kata dia.
"Sekali lagi kita sepenuhnya sepakat bahwa jumlah yang wafat ini jauh lebih rendah daripada waktu Delta yang lalu karena memang varian Omicron tidaklah seberat Delta, tetapi dua pertimbangan di atas untuk memandang kematian ini perlu kita resapkan, tidak semata-mata hanya melihat perbandingan angkanya saja," lanjutnya.
Karena itu, Tjandra mengusulkan tiga hal dalam pengendalian kematian ini. Pertama, melakukan analisa mendalam di 4 aspek. Yakni, audit kematian untuk menentukan “cause of death (COD)”, analisa perjalanan penyakit sejak tertular, timbul gejala ringan sampai berat dan meninggal, kemudian jenis varian dan bila mungkin jenisnya (BA.1 atau BA.2 dll), serta menganalisa apakah ada “patient’s delay”, “health service delay” dan kalau ada berapa lama “total delay”.
Kedua, karena BOR sekarang masih sekitar 30 persen dan itupun belum dari kapasitas maksimal maka baiknya sekarang mereka yang ringan tetapi punya risiko menjadi berat sebaiknya dirawat inap di RS saja. "Nanti kalau BOR jauh meningkat maka baru aturan dikembalikan lagi menjadi hanya kasus sedang dan berat," ungkapnya.