Adapun realisasi penerimaan CHT periode Januari-Oktober 2022 sebesar Rp171,33 triliun atau tumbuh 19,15% secara tahunan (yoy). Pada periode yang sama tahun sebelumnya yang tumbuh 10,16%.
Di tahun ini, penerimaan CHT terbesar di bulan Mei dengan nilai hingga Rp 26,4 triliun. Sementara pada Februari penerimaan CHT mencapai Rp 24,7 triliun, terbesar kedua.
Namun, pertumbuhan penerimaan CHT sedikit melambat dibulan Juli hanya mencapai Rp5 triliun. Faktor perlambatan itu dipengaruhi perlambatan produksi hasil tembakau di bulan Juli.
Penerimaan CHT di tahun ini juga tercatat meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya, terutama dalam empat tahun terakhir.
Problem ‘Sistem Borongan’ Tenaga Kerja Pabrik Rokok
Menurut Henry, dari sisi ketenagakerjaan, imbas kebijakan ini ada ancaman PHK tenaga kerja massal, serapan bahan baku dari petani tembakau dan cengkeh yang berpotensi akan berkurang.
“Mau di bawa ke mana nasib IHT legal nasional ini," paparnya dikutip IDX Channel.
Melihat banyak industri yang telah melakukan PHK sepanjang tahun ini, ancaman serupa di industri rokok ini cukup meresahkan.
Sementara selama ini, potret ketenagakerjaan di industri rokok masih terbilang belum terukur.
Hal ini karena adanya sistem buruh borongan dari proses produksi rokok, mulai dari proses panen tembakau, penjemuran, merajang daun tembakau, hingga melinting, yang tidak termasuk dalam kriteria pekerjaan formal.
Mengutip Antara, upah buruh pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah hanya dikisaran sebesar Rp17.000 per 1.000 batang rokok yang dihasilkan.
Mengutip website Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), setiap buruh pabrik rokok di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, ditarget dapat mengerjakan produksi rokok 4.000 batang per hari. Sementara untuk pemula 1.600 batang. Sementara untuk buruh di tahap lanjutan sehari dibebani target 2.500 batang.
Jika buruh rokok bekerja setiap hari dalam sebulan, rata-rata pendapatan yang dikumpulkan hanya mencapai Rp2.040.000 per 30 hari kerja per 4.000 batang rokok. Jika angka produktivitas hanya separuhnya, maka pendapatan yang dibawa pulang juga kurang dari angka tersebut.
Belum lagi, kewajiban seperti perlindungan kesehatan dan sosial lainnya yang tidak ditanggung oleh perusahaan.
Belum lama ini, pemerintah Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, mulai menyalurkan bantuan langsung tunai (BLT) untuk pekerja di industri rokok untuk periode dua bulan dengan nominal Rp 600 ribu per orang dengan jumlah total 39.417 buruh pabrik rokok pada pertengahan Agustus lalu.
Sementara anggaran yang disediakan untuk periode empat bulan sebesar Rp23,65 miliar ini berasal dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT).
Melansir laporan Kementerian Keuangan, di tahun sebelumnya, DBHCHT yang diterima pemerintah angkanya mencapai Rp3,47 triliun. Dengan pendapatan DBHCHT terbesar adalah provinsi Rp1,93 triliun, Jawa Tengah Rp743,4 miliar dan Jawa Barat Rp401,65 miliar.
Tiga provinsi ini merepresentasikan industri rokok Tanah Air karena banyak pabrik-pabrik rokok berpusat di dalamnya.
Sebut saja Raksasa Grup Djarum yang pabriknya berada di Kudus, Jawa Tengah. Lalu ada Gudang Garam (kode saham: GGRM) dan HM Sampoerna (HMSP) yang menguasai industri rokok di Jawa Timur.
Juga terdapat berbagai pabrik rokok kelas menengah ke bawah di berbagai daerah di Indonesia yang juga memiliki rantai ekosistem ekonomi yang saling membutuhkan.
Gonjang ganjing protes kenaikan cukai rokok hingga ancaman PHK idealnya sejalan dengan peningkatan kesejahteraan dan keamanan pekerja informal seperti buruh borongan di sektor ini. (ADF)