Dikatakan Alfons, kebocoran data pribadi secara masif tersebut terbukti dari banyaknya rekening atau akun bodong yang digunakan untuk kepentingan yang sifatnya merugikan bagi pemilik data asli.
"Rekening bodong dan akun bodong sudah banyak dan sangat merugikan masyarakat," ungkap Alfons.
Berbagai macam kebocoran tersebut, lanjut Alfons, menunjukkan bahwa badan usaha maupun lembaga di Indonesia sangat jauh tertinggal dalam hal mengelola data pribadi.
Untuk itu, dibutuhkan kesadaran penuh bagi pengelola data baik instansi pemerintah maupun swasta menjaga data pribadi pelanggan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Minimal pengelola harus menerapkan ISO:27001 tentang sistem manajemen keamanan informasi. Toh misalnya, sudah menerapkan ISO-pun juga masih berisiko bobol. Apalagi tidak menerapkan? Karena keamanan siber itu pasti berkembang," papar Alfons.
Selain itu, Alfons menilai negara juga harus hadir dalam mengamankan data pribadi warganya dengan segera mempertegas Undang-undang No. 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) dengan membuat aturan teknis turunannya.
Sebagai informasi, UU PDP sudah disahkan pada 2022 dan langsung berlaku saat diundangkan, namun DPR dan pemerintah masih memberikan masa transisi selama dua tahun.
"Nah, sekarang, sekitar Oktober 2024, UU tersebut mengamanatkan untuk membuat lembaga perlindungan data pribadi," tandas Alfons.
Ke depan, papar Alfons, lembaga tersebut bergerak semacam auditor dan penindak jika terbukti pengelola data tidak serius menjaga data pribadi yang dikelola.