"Masalah akan muncul ketika risiko kontinjensi membesar, dimana, ujungnya APBN dari pajak rakyat akan dipakai untuk talangi BUMN atau proyek yang bermasalah. Risiko kontinjensi akan berakibat kemana-mana termasuk kepercayaan untuk membeli surat utang pemerintah," katanya.
Senada, pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto mencatat, kinerja BUMN Karya yang buruk di 2020 sudah diprediksi sejak awal. Periode 2020 adalah periode buruk akibat Covid-19, dimana, pemerintah secara masif menerapkan PSBB.
Kebijakan itu berdampak pada ruang gerak bisnis seperti sektor properti dan infrastruktur. Akibatnya hampir seluruh nilai sales terpangkas jatuh dan sebagian profit turun tajam bahkan sebagiannya merugi.
Dia menilai, sebelum Covid-19, seluruh BUMN Karya ditugaskan untuk menggarap proyek Infrastruktur. Problemnya penyediaan anggaran atau financing kegiatan ini tidak sepenuhnya ditanggung pemerintah, tapi BUMN harus mencari sumber pendanaan sendiri.
"Akibatnya hutang menggunung dan DER sangat tinggi, bisa di atas 3 kali. Mengapa demikian? Karena proyek infrastruktur bersifat jangka panjang, return juga baru akan kembali dalam jangka panjang," tutur dia.