IDXChannel - Memasuki seminggu terakhir 2023, menarik untuk kembali melihat kilas ekonomi politik dunia sepanjang 2023. Sepanjang tahun ini, sejumlah sentimen makro membuat pasar global dan domestik bergejolak.
Mulai dari sikap The Federal Reserve (The Fed) yang hawkish dan meningkatnya suku bunga, ancaman krisis perbankan Amerika Serikat (AS) yang sempat muncul di awal tahun, hingga pecahnya perang Israel-Palestina jelang akhir tahun yang membentuk 2023.
Sikap Moneter The Fed
Bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) mempertahankan suku bunganya sebesar 5,5 persen pada Rabu (13/12/2023). Statista mencatat, sikap The Fed sepanjang tahun ini menggambarkan siklus pengetatan paling agresif dalam beberapa dekade.
Dengan suku bunga yang rendah secara historis setelah pandemi, The Fed telah mengambil tindakan yang sangat agresif untuk mengendalikan inflasi selama dua tahun terakhir.
Antara Maret 2022 dan Juli 2023, Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) menaikkan suku bunga target dana federal sebesar 525 basis poin dan menjadikan siklus pengetatan ini menjadi yang tercepat dalam empat dekade.
Sepanjang 2023 saja, The Fed sudah menaikkan suku bunga hingga 150 basis points (bps). (Lihat tabel di bawah ini.)
Jika dibandingkan, antara 2004 dan 2006, The Fed menaikkan suku bunga kebijakannya sebanyak 425 basis poin, namun selain itu, tidak ada siklus pengetatan lainnya dalam 40 tahun terakhir yang mampu mendekati siklus saat ini dalam hal cakupan dan kecepatan.
Pasca pertemuan Desember 2023, pemangkasan suku bunga The Fed diproyeksi mulai dilakukan pada Maret 2024 sebesar 25 bps hingga September 2024 dengan total 125 bps dan hingga Desember 2024 sebesar 150 bps hingga menjadi 3,75-4 persen.
Krisis Perbankan AS
Pada bulan Maret lalu, serangkaian kebangkrutan bank menyebabkan krisis perbankan terbesar dalam dua dekade terakhir. Hal ini terpotret dalam kegagalan First Republic Bank, Silicon Valley Bank (SIVB, Silvergate Bank, dan Signature Bank (SBNY) menjadi kegagalan bank terbesar kedua, ketiga, dan keempat dalam sejarah AS, bahkan melampaui skala kegagalan tahun 2008.
Keruntuhan perbankan ini berdampak besar di pasar dan menyebabkan terjadinya bank run alias penarikan deposit besar-besaran setelah bank tersebut menjual portofolio obligasi negaranya dengan kerugian besar dan menyebabkan kekhawatiran deposan terhadap likuiditas bank.
Obligasi tersebut telah kehilangan nilai yang signifikan karena suku bunga yang naik setelah bank tersebut mengalihkan portofolionya ke obligasi dengan jangka waktu lebih lama.
Nasabah berbagai bank ini sebagian besar adalah perusahaan teknologi dan individu kaya yang memiliki simpanan dalam jumlah besar. Namun saldo yang melebihi USD250.000 tidak diasuransikan oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC).
Adanya krisis perbankan ini menyebabkan kepercayaan pasar terhadap sektor perbankan mengalami penurunan. Terlebih, pada Minggu (19/3/2023), The Fed bersama Bank Sentral Eropa (ECB) dan beberapa bank sentral besar lainnya mengumumkan koordinasi likuiditas internasional, dan mengakui adanya "ketegangan" di pasar finansial global.
Buntut dari krisis ini, lembaga pemeringkat kredit Moody's memangkas peringkat 10 perbankan kecil dan menengah di AS.
Krisis Properti China
Krisis properti China juga menjadi sentimen pasar yang cukup berpengaruh di sepanjang tahun ini. Kasus ini diawali dari pengembang properti raksasa China, Evergrande yang mengajukan restrukturisasi kebangkrutan pada Kamis (17/8/2023) setelah lebih dari dua tahun gagal membayar utangnya.
Adapun restrukturisasi kebangkrutan atau bankruptcy protection diatur berdasarkan Chapter 15 di pengadilan Amerika Serikat (AS).