"Artinya koperasi menalangi dulu pembangunan biogas, nanti di angsurannya dipotong melalui peras susu. Jadi tergantung berapa potongannya tergantung kapasitasnya (susu yang disetorkan)," ungkap dia.
Kini dengan bertambahnya jumlah sapi perah yang dimiliki warga, menjadikan kapasitas biogas kian tinggi. Dari total terdapat sekitar 3 ribu lebih ekor sapi, baru setengahnya yang bisa limbahnya dikelola. Keterbatasan peralatan, keuangan, dan area luasan, menjadikan belum seluruhnya kotoran sapi bisa dimanfaatkan menjadi biogas, yang dapat dimanfaatkan warga untuk memasak.
"Dulu ketika pertama kali kita mengembangkan biogas jumlah ternaknya masih sekitar 1.500, sekarang lebih dari 3.000 ekor. Jadi kalau misalkan ada sekitar 3 ribu ekor sapi, mestinya tersedia 3.000 meter kubik, sementara di kita rata-rata berkapasitas volume 8 meter kubik, rata-rata masih ada 158 unit dikali 8, jadinya sekitar 900 sekian ekor sapi yang limbahnya sudah bisa diolah, jadi masih banyak yang belum terolah," paparnya.
Kini ia berharap kapasitas pengolahan limbah kotoran sapi bisa dimaksimalkan dengan pengadaan alat reaktor biogasnya. Selain itu ke depan tak hanya dimanfaatkan untuk memasak saja, tapi biogas akan dicoba dikelola untuk kebutuhan energi warga.
Tapi Slamet mengakui hal ini tak mudah, perlu peningkatan alat dan kerjasama seluruh warga, apalagi saat ini listrik dari aliran PLN telah masuk ke dusun tersebut. Jadi warga menganggap memilih hal yang mudah dan ribet mengandalkan pasokan listrik dari PLN.