Sementara itu Ketua Kelompok Tani Usaha Maju II Muhammad Slamet menuturkan, awalnya pemanfaatan biogas hanyalah sebagai bagian dari mengelola limbah kotoran sapi. Limbah - limbah ini sebelumnya hanya dibuang begitu saja ke sungai dan membuat ekosistem lingkungan tercemar. Tapi sejak tahun 2008 pihaknya mencoba mengelola limbah kotoran sapi, yang kerap dikeluhkan.
(foto: Avirisda/MPI)
"Jadi kita mulai tahun 2008, tujuan awalnya ada potensi limbah yang belum termanfaatkan. Jadi kita tergerak untuk mengelola limbah menjadi biogas, jadi tujuan utama kita mengelola limbah," ucap Slamet.
Awal mula pengembangan biogas pihaknya bersama warga memanfaatkan alat seadanya. Bahkan reaktor biogasnya terbuat dari plastik, hal ini karena keterbatasan anggaran. Tapi seiring berjalannya waktu, bahan baku reaktor biogas dari plastik termakan usia sehingga kerap kali rusak. Inilah yang membuat warga akhirnya beralih ke reaktor biogas permanen.
Apalagi warga sudah merasakan manfaat dari pengembangan biogas selama 10 tahun lebih. eberapa warga yang mampu bahkan telah membuat reaktor biogas fix dome berbahan beton permanen. Jumlah reaktor pun terus bertambah, bila di tahun 2010 lalu misalnya ada 234 unit, di tahun 2021 ini reaktor yang berbahan beton permanen sudah mencapai 158 unit reaktor biogas beton, dengan harga mencapai Rp 40 juta dengan kapasitas 20 meter kubik dan 30 meter kubik. Jumlah itu belum termasuk reaktor biogas warga yang masih menggunakan bahan plastik.
"(Reaktor berbahan plastik) ada usia ekonomisnya, maksimal 5 tahun, kita jalan mulai tahun 2008 hampir 12 tahun berjalan, pastinya plastiknya banyak yang rusak. Akhirnya masyarakat yang sudah merasa mampu untuk membangun biogas dengan konstruksi beton banyak yang beralih ke beton, pakai fix dom, dibangun sudah mencapai 158 unit," ujar dia.