"Dengan semakin tingginya Gap antara harga TBS dengan harga CPO internasional, di satu sisi akan menguntungkan bagi pelaku usaha yang dapat menikmati gap tersebut. Ambil contoh, perusahaan terintegrasi yang memiliki PKS, mereka dapat membeli TBSp PL lq dengan harga murah, lalu menjual CPO dengan harga tinggi di pasar internasional, sementara yang 20 untuk pasar domestik mereka juga tidak rugi. Pertanyaannya, CPO yang untuk DMO minyak goreng ini hasil TBS dari perusahaan atau petani rakyat?" ujar Ridho.
Menurut Ridho ada baiknya diatur agar DMO untuk minyak goreng disuplai dari pabrik perkebunan yang besar saja karena sudah lebih dari cukup, bahkan masih banyak sisanya. Sehingga tidak menjadi alasan untuk menekan harga TBS.
"Sedangkan produksi dari petani rakyat biar untuk ekspor sehingga mereka tetap dapat menikmati keuntungan dari kenaikan harga CPO internasional. Apalagi mereka masih berhadapan dengan lonjakan harga pupuk yang masih belum teratasi," sebutnya.
Terlepas dari potensi dampak negatif tersebut, Ridho mengatakan bahwa kebijakan Kemendag sejatinya masih belum menyentuh persoalan mendasar. Yakni struktur pasar minyak goreng yang masih dikuasai oleh segelintir perusahaan besar. Padahal, minyak goreng dibutuhkan seluruh masyarakat rumah tangga bahkan industri.
"KPPU pun mendorong pemerintah untuk menghilangkan hambatan bagi pelaku usaha agar industri minyak goreng terus bertambah sehingga memperketat persaingan dengan mencegah kemungkinan adanya oligopoli pasar," pungkasnya.