sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Krisis Energi di Depan Mata, Harga Pupuk Bisa Makin Tinggi

Economics editor Advenia Elisabeth/MPI
19/01/2023 07:45 WIB
Peneliti CIPS Mukhammad Faisol Amir menyoroti tingginya harga pupuk saat ini. Menurut dia, harga bisa semakin tinggi di tengah potensi krisis energi.
Krisis Energi di Depan Mata, Harga Pupuk Bisa Makin Tinggi. (Foto: MNC Media)
Krisis Energi di Depan Mata, Harga Pupuk Bisa Makin Tinggi. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir menyoroti tingginya harga pupuk saat ini. Menurut dia, harga bisa semakin tinggi di tengah potensi krisis energi.

Dia menilai tingginya harga pupuk dapat memicu praktik penggunaan pupuk yang tidak sesuai dosis. Imbasnya, kualitas hasil tani menjadi kurang baik. 

"Akses terhadap pupuk yang berkualitas dan terjangkau perlu dijamin karena ketidakpastian pasokan dan mahalnya pupuk dapat mendorong praktik penggunaan pupuk yang tidak sesuai dosis. Harga pupuk bisa semakin tinggi jika melihat krisis energi yang sedang berlangsung," ujar Faisol dalam keterangan tertulisnya, Rabu (18/1/2023).

Lebih lanjut ia mengatakan, kesenjangan harga antara pupuk subsidi dan non-subsidi perlu diperkecil supaya tidak memunculkan potensi pasar gelap yang akan merugikan petani dalam mengakses pupuk yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.

Selain masalah pupuk, Faisol juga menyoroti permasalahan pasca panen. Seperti penyusutan hasil panen karena faktor cuaca dan karena kurangnya fasilitas mesin pengering atau kondisi mesin penggiling yang sudah kurang prima.

"Persoalan rantai-pasok yang panjang dengan teknologi terbatas untuk menjaga kualitas bahan pangan juga turut menyumbang food losses di Indonesia," ungkapnya. 

Belum lagi permasalahan minimnya daya saing produksi pangan Tanah Air karena diproduksi lewat proses yang kurang efisien. Menurutnya, kurang efisiennya proses produksi menyebabkan harganya menjadi mahal dan berkaitan dengan permasalahan pasca panen yang sudah disebutkan sebelumnya.

Ia melihat, saat ini pemerintah justru lebih menggunakan kebijakan ekstensifikasi pertanian untuk menjawab tantangan ketersediaan pangan, seperti lewat program Food Estate. Alih-alih menjadi solusi, pembukaan lahan justru bertentangan dengan prinsip berkelanjutan dan ikut memperburuk kondisi iklim global.

“Mempertimbangkan berbagai tantangan sektor pertanian, pembukaan lahan secara paksa dan besar-besaran malah berbahaya untuk sektor pertanian dalam jangka panjang,” pungkasnya.

(FRI)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement