IDXChannel - Ekonomi China masih tertekan akibat sejumlah indikator yang mengalami kelesuan. Ini salah satunya tampak di sektor properti.
Sektor ini dilaporkan terus tertekan pasca meledaknya Covid-19 di akhir 2019.
Sebagai gambaran, investasi properti China memperpanjang penurunannya selama 17 bulan berturut-turut pada Juli 2023. Penjualan rumah merosot disebabkan karena krisis utang yang semakin dalam membebani sektor ini.
Menurut perhitungan Reuters berdasarkan data dari Biro Statistik Nasional (NBS), investasi properti turun 17,8 persen secara tahunan (yoy) pada Juli setelah merosot 20,6 persen di bulan sebelumnya.
Penjualan properti berdasarkan luas lantai juga turun selama 25 bulan berturut-turut di bulan Juli dengan penurunan sebesar 23,9 persen pada tahun lalu. Sebelumnya, penjualan mengalami penurunan 28,1 persen pada Juni.
Indeks Harga Rumah bulanan China juga turun menjadi 0 persen di bulan Juni dari 0,1 persen di bulan Mei 2023. (Lihat grafik di bawah ini.)
Di China, House Price Index bulanan mengukur perubahan bulanan dalam indeks bangunan tempat tinggal yang baru dibangun di 70 kota menengah dan besar. Indeks yang lebih lemah menggambarkan semakin sedikitnya permintaan untuk properti baru di negara ini.
Secara nasional, investasi properti turun 8,5 persen dalam tujuh bulan pertama setelah tergelincir 7,9 pada pada periode Januari-Juni 2023.
Penjualan properti secara keseluruhan turun 6,5 persen pada Januari-Juli dari tahun sebelumnya, dibandingkan dengan penurunan 5,3 persen dalam enam bulan pertama tahun ini.
Konstruksi baru juga mengalami penurunan 24,5 persen secara yoy, setelah penurunan 24,3 persen dalam enam bulan pertama tahun ini.
Dana yang dihimpun oleh pengembang properti China turun 11,2 persen per tahun setelah penurunan 9,8 persen pada periode Januari-Juni tahun ini.
Evergrande Jilid 2?
Angka-angka suram sektor properti kembali datang karena pengembang real estat swasta terbesar di negara itu, Country Garden, berusaha untuk menunda pembayaran obligasi swasta untuk pertama kalinya. Keadaan ini menambah tekanan pada Beijing untuk turun tangan.
Country Garden ditaksir kemungkinan besar bakal menelan kerugian hingga USD7,6 Miliar atau setara Rp114,8 triliun (Kurs Rp15.118 per USD) selama periode enam bulan pertama tahun ini.
Sektor real estat sebelumnya pernah menjadi pilar ekonomi China dan kini telah mengalami penurunan penjualan, likuiditas yang ketat, dan serangkaian default pengembang sejak akhir 2021.
Krisis utang di sektor ini semakin dalam beberapa hari terakhir dengan semakin banyaknya pengembang swasta yang memulai proses restrukturisasi utang di tengah meningkatnya seruan agar Beijing meluncurkan stimulus untuk menopang sektor yang menyumbang sekitar seperempat ekonomi negara tersebut.
Para pemimpin Politbiro China pada pertemuan Juli berjanji untuk menyesuaikan kebijakan properti. Kondisi ini memicu spekulasi bahwa stimulus mungkin sedang dipersiapkan.
Pasar mengharapkan langkah-langkah stimulus lebih banyak untuk diterapkan di kota-kota besar, seperti Beijing dan Shanghai, termasuk pelonggaran pembatasan hipotek, pengurangan uang muka dan suku bunga hipotek, dan pengurangan pembatasan pembelian rumah di area tertentu.
Kondisi ini mengingatkan pada Evergrande, salah satu perusahaan properti terbesar China yang gagal membayar utangnya pada akhir 2021.
Kerugian ini merupakan potret suramnya sektor properti China beberapa tahun terakhir di ekonomi terbesar kedua di dunia.
Pada akhir Juli lalu, Evergrande juga melaporkan pendapatannya yang telah lama tertunda kepada investor di Hong Kong.
Evergrande diketahui tengah terlilit utang sekitar USD300 miliar. Dalam pengajuan ke Bursa Efek Hong Kong pada 18 Juli lalu, perusahaan mengatakan kehilangan 476 miliar yuan pada 2021 dan 105,9 miliar yuan tahun lalu.
Evergrande mengatakan kerugian itu disebabkan sejumlah alasan, termasuk jatuhnya nilai properti dan aset lainnya serta biaya pinjaman yang lebih tinggi.
Industri real estat China sempat terguncang akibat berlakunya aturan baru untuk mengontrol jumlah pinjaman perusahaan real estat besar pada 2020.
Tahun berikutnya, Evergrande mengalami gagal membayar bunga sekitar USD1,2 miliar pinjaman internasional.
Masalah keuangannya ini kemudian mempengaruhi industri properti negara itu, dengan serangkaian pengembang lain gagal bayar utang dan meninggalkan proyek bangunan yang belum selesai.
Awal tahun ini, Evergrande menyusun rencana untuk merestrukturisasi sekitar USD20 miliar utang luar negeri. (ADF)