Di sisi lain, kendala lain yang tengah dihadapi Indonesia ialah menurunnya kualitas sumur minyak tua yang dimiliki oleh Indonesia.
Meski demikian, menurut data Wood Mackenzie, sumberdaya migas yang dimiliki Indonesia masih cukup besar. Jumlahnya mencapai 26.200 MMBOE, terbesar di Asia Tenggara. Angka ini bahkan mengalahkan Malaysia yang memiliki sumberdaya 14.800 MMBOE.
Adapun wilayah frontier atau Indonesia Timur menyimpan cadangan migas terbesar, dengan minyak mencapai 281 MMBO dan gas sebesar 21.500 BCF.
Tren Investasi Hulu Migas Masih Lesu
Tren investasi hulu migas juga mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data SKK Migas, realisasi investasi hulu migas pada 2017 hanya mencapai USD10,3 miliar. Meskipun tidak signifikan, jumlahnya sempat meningkat pada 2018 sebesar USD 10,9 miliar.
Tahun berikutnya, jumlah investasi ini kembali tercatat meningkat sebesar USD11,7 miliar. Namun kembali menurun di tahun pandemi sebesar USD10,5 miliar dan terus terperosok pada 2021 hanya mencapai USD10,09 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)
Padahal, menurut catatan SKK Migas, dalam upaya mengejar target produksi migas di 2030 Indonesia membutuhkan investasi hulu migas senilai USD20 miliar hingga USD 26 miliar per tahun.
Investasi pada Wilayah Kerja (WK) Eksplorasi, yang merupakan jantung industri hulu migas juga mengalami tren penurunan pada periode yang sama.
Di tahun tersebut nilai investasi hulu migas masih mencapai USD560 juta, namun, setahun berikutnya, nilainya anjlok lebih dari 50% hanya mencapai USD202 juta.
Kondisi semakin parah hingga tahun pandemi 2020 di mana investasi pada WK Eksplorasi hanya menyentuh angka USD66 juta. Jumlah investasi ini kembali berhasil diperbaiki di tahun 2021 yang mencapai USD193 juta. Namun angka ini masih belum kembali pada level pra pandemi.
Mengutip data IPA, industri migas selama ini tengah menghadapi ketidakpastian akibat transisi energi, volatilitas harga komoditas, dan potensi resesi global.
Sementara hingga kuartal tiga (Q3) tahun ini, realisasi investasi masih berada di angka USD7,7 miliar. Sementara target yang ditetapkan sejak awal tahun yaitu USD13,2 miliar.
Perusahaan Hulu Migas Hengkang Dari Indonesia Beserta Alasannya
Kelesuan industri migas nasional juga tercermin dari hengkangnya beberapa raksasa migas dari Indonesia. Beberapa di antaranya adalah:
1. Royal Dutch Shell
Shell dilaporkan akan melepas 35% sahamnya di Blok Masela. Proyek senilai 19,8 miliar dolar AS ini ditargetkan memproduksi 1.600 MMSCFD gas dan 35.000 barel minyak per hari.
Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR, di akhir Agustus 2020 lalu, VP Corporate Service Inpex Henry Banjarnahor mengatakan, peluang investasi di negara lain lebih menguntungkan secara ekonomi dibanding Indonesia.
"Alasannya sudah disampaikan Bapak Kepala SKK Migas tadi bahwa mereka meningkatkan seluruh portofolio mereka di seluruh dunia dan menerka-nerka bahwa investasi di negara lain lebih menguntungkan mereka. Jadi mereka mengutamakan itu," ujarnya.
2. Chevron Indonesia
Chevron mengakhiri kontraknya di Blok Rokan yang berakhir pada 8 Agustus 2021. Pengelolaan blok ini akhirnya dilanjutkan oleh Pertamina.
Selain itu, perusahaan asal negeri Paman Sam ini juga berencana hengkang dari proyek Indonesia Deep Water Development (IDD) di Kalimantan Timur. Padahal, IDD merupakan salah satu proyek strategis nasional.
3. TotalEnergies
Perusahaan migas berbasis Prancis juga menghentikan aktivitas operasinya di Blok Mahakam per 1 Januari 2018 lalu setelah dikelola selama 50 tahun. Kini, Pertamina mengambilalih kelola blok tersebut.
4. ConocoPhillips
Perusahaan berbasis di Texas, AS ini mengumumkan akan melepas seluruh sahamnya kepada PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) di akhir 2021 lalu.
Pelepasan saham ke Medco ini ditandai dengan penandatanganan kesepakatan Medco untuk mengakuisisi seluruh saham yang diterbitkan ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd. (CIHL) dari Phillips International Investment Inc., yang merupakan anak perusahaan dari ConocoPhillips.