IDXChannel - Produksi minyak dan gas (migas) nasional mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan data SKK Migas, tahun lalu produksi minyak RI mencapai 658,9 ribu barel minyak per hari (BOPD). Angka ini turun 49,9 ribu BOPD dari tahun 2020 yang mencapai 708,3 ribu BOPD.
Sementara, produksi gas RI berada di angka 6662 MMSCFD pada tahun 2021, menurun 3 MMSCFD dari tahun sebelumnya.
Secara total, produksi migas RI pada 2021 mencapai 1848 ribu BOEPD, menurun 50 ribu BOEPD jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Penurunan ini konsisten terjadi sejak 2017 di mana di tahun tersebut produksi minyak masih mencapai 801 ribu BOPD sementara produksi gas di angka 7620 MMSCFD. (Lihat tabel di bawah ini.)
Laju lifting migas 5 tahun terakhir juga mengalami penurunan. Bahkan, jumlahnya mencapai titik terendah pada 2020 dengan angka 1.690 ribu BOEPD pada 2020, turun 6,27% dari tahun sebelumnya.
Sementara, pada periode Januari hingga Desember 2021 jumlahnya menurun kembali hanya mencapai 1.667 BOEPD. (Lihat grafik di bawah ini.)
Memasuki tahun 2022, realisasi lifting migas selama tahun ini tercatat sebesar 521,7 ribu BOPD pada kuartal satu (Q1). Sementara, lifting gas bumi mencapai 919.640 BOPED di periode yang sama.
Memasuki Q3 tahun ini, SKK Migas melaporkan lifting migas per 30 September 2022 masih di bawah target anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022.
Berdasarkan data SKK Migas, lifting minyak Q3 tahun ini berada di angka 610,1 ribu BOPD dan gas mencapai 5.353 MMSCFD. Target lifting minyak pada APBN 2022 ditetapkan 703 ribu BOPD dan lifting gas mencapai 5.800 MMSCFD.
Perlu diperhatikan bahwa produksi minyak merupakan volume yang dikeluarkan dari perut bumi dan kemudian disimpan dalam tanki penampungan (stock).
Sedangkan lifting minyak adalah volume yang diambil dari tanki penampungan (stock), diangkut dengan tanker atau melalui pipa, kemudian dijual kepada pembeli.
Menurut SKK Migas, penyebab turunnya lifting migas RI terutama disebabkan laju penurunan produksi alami yang lebih cepat dari proyeksi.
Adanya unplanned shut down sumur produksi hingga mundurnya kontribusi sumur baru damak keterlambatan eksekusi pemboran juga menjadi faktor lainnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sempat mengatakan pada September lalu bahwa Indonesia tengah menghadapi penurunan kemampuan produksi migas yang cukup signifikan.
Menurut Arifin, hal ini disebabkan oleh keterbatasan Indonesia untuk menemukan sumur-sumur minyak baru dengan kapasitas produksi yang besar.
"Indonesia saat ini mengalami penurunan kemampuan produksi. Dulu kita bisa jadi eksportir, kita produksi 1,6 juta barel per hari. Sekarang kita malah menjadi importir," kata Arifin, Rabu (14/9/2022).
Di sisi lain, kendala lain yang tengah dihadapi Indonesia ialah menurunnya kualitas sumur minyak tua yang dimiliki oleh Indonesia.
Meski demikian, menurut data Wood Mackenzie, sumberdaya migas yang dimiliki Indonesia masih cukup besar. Jumlahnya mencapai 26.200 MMBOE, terbesar di Asia Tenggara. Angka ini bahkan mengalahkan Malaysia yang memiliki sumberdaya 14.800 MMBOE.
Adapun wilayah frontier atau Indonesia Timur menyimpan cadangan migas terbesar, dengan minyak mencapai 281 MMBO dan gas sebesar 21.500 BCF.
Tren Investasi Hulu Migas Masih Lesu
Tren investasi hulu migas juga mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data SKK Migas, realisasi investasi hulu migas pada 2017 hanya mencapai USD10,3 miliar. Meskipun tidak signifikan, jumlahnya sempat meningkat pada 2018 sebesar USD 10,9 miliar.
Tahun berikutnya, jumlah investasi ini kembali tercatat meningkat sebesar USD11,7 miliar. Namun kembali menurun di tahun pandemi sebesar USD10,5 miliar dan terus terperosok pada 2021 hanya mencapai USD10,09 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)
Padahal, menurut catatan SKK Migas, dalam upaya mengejar target produksi migas di 2030 Indonesia membutuhkan investasi hulu migas senilai USD20 miliar hingga USD 26 miliar per tahun.
Investasi pada Wilayah Kerja (WK) Eksplorasi, yang merupakan jantung industri hulu migas juga mengalami tren penurunan pada periode yang sama.
Di tahun tersebut nilai investasi hulu migas masih mencapai USD560 juta, namun, setahun berikutnya, nilainya anjlok lebih dari 50% hanya mencapai USD202 juta.
Kondisi semakin parah hingga tahun pandemi 2020 di mana investasi pada WK Eksplorasi hanya menyentuh angka USD66 juta. Jumlah investasi ini kembali berhasil diperbaiki di tahun 2021 yang mencapai USD193 juta. Namun angka ini masih belum kembali pada level pra pandemi.
Mengutip data IPA, industri migas selama ini tengah menghadapi ketidakpastian akibat transisi energi, volatilitas harga komoditas, dan potensi resesi global.
Sementara hingga kuartal tiga (Q3) tahun ini, realisasi investasi masih berada di angka USD7,7 miliar. Sementara target yang ditetapkan sejak awal tahun yaitu USD13,2 miliar.
Perusahaan Hulu Migas Hengkang Dari Indonesia Beserta Alasannya
Kelesuan industri migas nasional juga tercermin dari hengkangnya beberapa raksasa migas dari Indonesia. Beberapa di antaranya adalah:
1. Royal Dutch Shell
Shell dilaporkan akan melepas 35% sahamnya di Blok Masela. Proyek senilai 19,8 miliar dolar AS ini ditargetkan memproduksi 1.600 MMSCFD gas dan 35.000 barel minyak per hari.
Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR, di akhir Agustus 2020 lalu, VP Corporate Service Inpex Henry Banjarnahor mengatakan, peluang investasi di negara lain lebih menguntungkan secara ekonomi dibanding Indonesia.
"Alasannya sudah disampaikan Bapak Kepala SKK Migas tadi bahwa mereka meningkatkan seluruh portofolio mereka di seluruh dunia dan menerka-nerka bahwa investasi di negara lain lebih menguntungkan mereka. Jadi mereka mengutamakan itu," ujarnya.
2. Chevron Indonesia
Chevron mengakhiri kontraknya di Blok Rokan yang berakhir pada 8 Agustus 2021. Pengelolaan blok ini akhirnya dilanjutkan oleh Pertamina.
Selain itu, perusahaan asal negeri Paman Sam ini juga berencana hengkang dari proyek Indonesia Deep Water Development (IDD) di Kalimantan Timur. Padahal, IDD merupakan salah satu proyek strategis nasional.
3. TotalEnergies
Perusahaan migas berbasis Prancis juga menghentikan aktivitas operasinya di Blok Mahakam per 1 Januari 2018 lalu setelah dikelola selama 50 tahun. Kini, Pertamina mengambilalih kelola blok tersebut.
4. ConocoPhillips
Perusahaan berbasis di Texas, AS ini mengumumkan akan melepas seluruh sahamnya kepada PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) di akhir 2021 lalu.
Pelepasan saham ke Medco ini ditandai dengan penandatanganan kesepakatan Medco untuk mengakuisisi seluruh saham yang diterbitkan ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd. (CIHL) dari Phillips International Investment Inc., yang merupakan anak perusahaan dari ConocoPhillips.
CIHL memegang 100% saham di ConocoPhillips (Grissik) Ltd dan 35% saham di Transasia Pipeline Company Pvt Ltd.
CPGL juga merupakan operator dari blok gas Corridor (Corridor PSC), Sumatera Selatan, dengan kepemilikan hak partisipasi 54% di blok migas ini.
Dalam keterangan resminya, nilai aset ConocoPhillips yang akan dijual ke Medco mencapai USD1,355 miliar atau sekitar Rp 19,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.400 per dolar AS).
ConocoPhillips akan menggunakan hasil dari penjualan aset di Indonesia untuk kepentingan kepemilikan saham tambahan di Australia Pacific LNG sebesar 10% dari Origin Energy.
Insentif Hulu Migas Untuk Investasi
Pemerintah melalui SKK Migas telah menggelontorkan sejumlah insentif untuk menggeliatkan industri migas Tanah Air.
Pertama, penundaan sementara pencadangan biaya kegiatan pasca operasi atau Abandonment and Site Restoration (ASR).
Kedua, pengecualian PPN LNG melalui penerbitan PP 48/2020 tentang impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dikecualikan dari Kewajiban PPN.
Ketiga, pembebasan biaya pemanfaatan barang milik negara yang akan digunakan untuk kegiatan hulu migas.
Keempat, penundaan atau pengurangan hingga 100% pajak-pajak tidak langsung.
Kelima, penerapan insentif investasi, di antaranya depresiasi dipercepat, perubahan gross split dan DMO full price.
Keenam, penerapan volume gas yang dapat dijual dengan harga market untuk semua skema di atas take or pay dan Daily Contract Quantity (DCQ).
Meskipun paket stimulus telah digelontorkan, akan tetapi kelesuan investasi belum bisa sepenuhnya diatasi oleh pemerintah. Perlu adanya langkah progresif untuk membuat industri hulu migas RI lebih atraktif.
Adapun ketiga paket insentif lainnya belum disetujui oleh otoritas terkait. Diantaranya adalah menghapus biaya pemanfaatan Kilang LNG Badak sebesar USD0,22 per MMBTU, pembebasan Branch Profit Tax (BPT), apabila re investasi profit (deviden) ke Indonesia.
Serta dukungan dari kementerian terkait untuk pembebasan pajak bagi usaha penunjang kegiatan hulu migas seperti industri baja, rig, jasa dan service operasional migas.
Oleh karena itu, beberapa lembaga konsultan global seperti IHS Markit, Boston Consulting Group (BCG) menyarankan beberapa skema insentif yang bisa diberikan oleh pemerintah.
Berbagai hambatan investasi migas ini perlu disikapi lebih serius oleh pemerintah. Mengingat Indonesia masih memerlukan minyak bumi dan gas untuk menopang ketahanan energi nasional.
Sementara, Indonesia harus berebut lebih ketat untuk mendatangkan investasi di sektor ini. Saat ini, investasi dari berbagai otoritas migas global secara total diperkirakan hanya mencapai USD400 miliar per tahun atau separuh dari tingkat investasi di tahun 2014. Jumlah ini pun dibagi-bagi ke berbagai wilayah negara. (Lihat grafik di bawah ini.)
“Ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk menarik investasi yang dibutuhkan demi
mencapai target 1 Juta BOPD/12 BSCFD pada 2030,” menurut website IPA, dikutip Rabu (30/11).
Untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, Indonesia menetapkan produksi 1 juta barel minyak dan 12 BSCFD gas pada 2030.
Sementara itu, menurut kalkulasi Indonesia Petroleum Association (IPA), akan ada gap antara produksi dan kebutuhan energi, terutama minyak bumi hingga tahun 2050. Tahun 2030, terdapat gap hingga 74% antara kebutuhan minyak domestik dan produksi nasional. Artinya, angka 1 juta barel masih belum mampu menutup kebutuhan minyak di tahun 2030.
Bahkan, ketergantungan yang cukup tinggi terhadap migas belum dapat digantikan oleh sumber energi lain, termasuk energi baru terbarukan (EBT). (ADF)