IDXChannel - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menekankan ketahanan performa ekonomi makro Indonesia pada 2023 akan bergantung pada obligasi.
Perry menegaskan, dampak kenaikan Fed Fund Rate tidak akan langsung berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia, terutama nilai tukar. Adapun yang akan paling terpengaruh sebenarnya adalah yield (imbal hasil) Surat Berharga Negara (SBN).
Ini karena portfolio inflow ke Indonesia akan dipengaruhi perbedaan yield dalam dan luar negeri, US Treasury dan yield SBN, bukan karena kebijakan suku bunga.
“Jadi mari kita lihat yield differential-nya. Itulah yang kami kerjakan bersama bu Menteri Keuangan adalah untuk menjaga yield diffenecial antara US Treasury dan government bond tetap menarik di mata investor. Sebanyak Rp45,5 triliun SBN masuk tahun ini, karena kami berdua menjaga yield diffenetial,” kata Perry dalam Economic Outlook 2023, Selasa (28/2).
BI mencatat sebanyak Rp45,50 triliun modal asing telah mengalir ke pasar Surat Berharga Negara (SBN) hingga 16 Februari 2023.
“Selama tahun 2023, berdasarkan data setelmen hingga 16 Februari 2023, nonresiden beli neto Rp45,40 triliun di pasar SBN,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam keterangan resmi, Minggu (19/2/2023).
Perry menambahkan, fluktuasi nilai tukar bukan hanya terdampak karena policy rate, tapi juga dipengaruhi faktor fundamental. Untuk melakukan intervensi terhadap nilai tukar, BI akan mengeluarkan peraturan terkait valuta asing (valas).
“Maret ini kita akan menerbitkan term deposit valas. Kami telah berdiskudi dan sejumlah bank dan eksportir telah menandatangani aturan yang di buat ini. Salah satunya adalah rekening khusus untuk Dana Hasil Ekspor (DHE), tentunya dengan mekanisme pasar yang menarik. Untuk eksportir kami akan berikan suku bunga kompetitif luar negeri. Sehingga eksportir yang menaruh dana lebih lama di Indonesia akan memperoleh benefit, untuk bank kami akan memberikan fee agent sebagai insentif,”imbuh Perry.
Perry juga menegaskan setidaknya terdapat lima alasan nilai tukar akan menguat setelah guncangan kenaikan suku bunga The Fed:
- Prospek ekonomi Indonesia
- Inflasi akan kembali rendah di bawah 4%
- Yield differential yang terus menarik
- Kondisi neraca perdagangan surplus
- Komitmen BI menstabilkan nilai tukar rupiah
Sepanjang 2022, Bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed) telah menaikkan suku bunga acuan 425 basis poin atau 4,25% jadi 4,25% - 4,5% dan menjadi kenaikan paling agresif dalam 41 tahun terakhir.
Untuk mengimbanginya, BI merespons dengan kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebanyak 200 basis poin atau 2% sepanjang 2022 ini menjadi 5,5% pada Desember 2022. Di awal 2023, BI kembali menaikkan suku bunga walaupun kenaikannya melambat ke level 25 bps menjadi 5,75% mengikuti kenaikan The Fed.
Kondisi Yield Differential SBN Pemerintah RI
Dilaporkan BI, Menjelang akhir tahun 2022, investor asing berbondong-bondong beralih membeli SBN RI, karena imbal hasil (yield) yang tinggi, sementara fundamental ekonomi Indonesia yang masih dilihat solid.
Yield SBN RI ini dinilai masih menarik, meskipun The Fed cukup agresif menaikkan bunga acuannya.
Adapun yield differential atau lebih dikenal sebagai yield spread adalah perbedaan antara imbal hasil pada instrumen utang yang berbeda dengan variasi jatuh tempo, peringkat kredit, penerbit, atau tingkat risiko, yang dihitung dengan mengurangi imbal hasil satu instrumen dari instrumen lainnya. Perbedaan ini paling sering dinyatakan dalam basis poin (bps) atau poin persentase.