Guna melihat perbandingan yield obligasi, melansir data Trading Economics, beberapa kinerja obligasi pemerintah di negara-negara maju masih mengalami kenaikan hingga awal Maret 2023. Di antaranya AS, Inggris, Jepang, Australia hingga Jerman. (Lihat tabel di bawah ini.)
Beberapa negara ini dikenal menarik bagi investor karena menawarkan yield obligasi yang stabil dan dianggap cenderung kebal dengan guncangan ekonomi global. Namun, kekhawatiran inflasi dan resesi tahun ini bisa jadi menjadi game changer yang menentukan pasar obligasi beberapa negara ini.
Data yield obligasi pemerintah (US Treasury) Amerika Serikat (AS) terbaru menunjukkan kenaikan dalam perdagangan awal Maret 2023. Adapun yield Treasury tenor 10 tahun pemerintah AS yang dijadikan patokan atau benchmark obligasi naik 0,028 bp ke 4,024% pada hari ini, Kamis (2/3) dari perdagangan kemarin di level 3,996%, Rabu (1/3).
Sementara, Imbal Hasil Obligasi Indonesia 10 Tahun juga mengalami kenaikan ke level 6,94% atau naik 0,051% setelah sehari sebelumnya berada di level 6,88%. (Lihat grafik di bawah ini.)
Mengutip kajian Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tingkat imbal hasil obligasi negara jangka panjang domestik di 26 negara berkembang, termasuk Indonesia, sangat dipengaruhi oleh ekspektasi investor atas indikator-indikator ekonomi makro.
Dalam hal ini, inflasi dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil, serta risiko gagal bayar yang dilihat dari level defisit anggaran, defisit neraca berjalan, dan rasio utang pemerintah terhadap PDB.
Seiring dengan itu, pemerintah negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, perlu cermat dan waspada dalam menjaga keseimbangan fiskal, terutama dalam situasi ekonomi positif. Mengingat, situasi yang dihadapi dapat berubah dengan cepat dan berpengaruh pada tingkat imbal hasil obligasi negara.
Tingkat imbal hasil obligasi negara dengan tenor jangka panjang di negara emerging market dapat dipengaruhi oleh antara lain ekspektasi tingkat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing dan faktor-faktor domestik seperti inflasi, pertumbuhan PDB, neraca fiskal, dan spread credit default swap (CDS).
Adapun, per 16 Februari 2023, premi risiko investasi atau CDS Indonesia dalam 5 tahun tercatat turun ke 88,73 bps dari 89,30 bps per 10 Februari 2023.
Dari dalam negeri, menurut catatan Kemenkeu, setidaknya empat faktor yang dapat memengaruhi yield SBN domestik, yakni likuiditas yang diwakili oleh tingkatan cadangan devisa Bank Indonesia, indikator ekonomi makro seperti inflasi, nilai tukar, dan BI Rate, kinerja obligasi yang diwakili indeks obligasi, dan harga komoditas yang diwakili harga minyak dunia.