Yukki menjelaskan, praktik penyelewengan di lapangan ini dapat terjadi lantaran adanya perbedaan mencolok antara harga solar non subsidi (dexlite) yang sekitar Rp12.150 hingga Rp13.200 per liter dengan harga solar bersubsidi (biodiesel) yang hanya Rp5.150 per liter.
Dengan disparitas harga yang demikian tinggi, maka sangat berpotensi memunculkan spekulan atau tengkulak yang pada akhirnya membuat kebijakan pemberian subsidi oleh pemerintah yang niatnya bagus, namun menjadi tidak tepat sasaran.
"Dari pemikiran itu lah kami berkesimpulan baiknya tidak usah ada lagi solar bersubsidi. Cukup ada satu jenis solar (dexlite) saja di SPBU. Dengan begitu bagi kami para pengusaha, justru ada kepastian," tutur Yukki.
Usulan penghapusan BBM solar bersubsidi tersebut, diakui Yukki merupakan pilihan sulit bagi ALFI dan seluruh anggotanya karena terpaksa harus menaikkan tarif pengiriman. Hal ini lantaran BBM merupakan komponen terbesar dalam struktur biaya angkutan barang.
"Tapi bagi kami itu lebih realistis. Ketimbang secara kebijakan seolah-olah ada subsidi tapi toh manfaatnya tidak sampai juga ke kami. Maka sebaiknya sekalian tidak perlu ada (solar bersubsisi) saja. Sekarang tinggal pemerintah seperti apa. Yang jelas usul sudah kami sampaikan, tinggal pemerintah yang memutuskan," tegas Yukki. (TSA)