Hal ini merujuk data Trading Economics dan laporan resmi Menteri Keuangan yang dirilis oleh Reuters, Indonesia membukukan surplus perdagangan sebesar USD4,9 miliar pada Mei 2025.
Sementara itu, berdasarkan pemeringkatan dari World Visualized, surplus tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat ke-3 dunia, setelah Tiongkok (USD103,22 miliar) dan Jerman (USD17,8 miliar). Posisi Indonesia ini di atas Rusia (USD4,5 miliar) dan Malaysia (USD3,5 miliar).
“Angka positif pencapaian kinerja sektor manufaktur nasional, yang diperkuat dan bersumber dari berbagai lembaga internasional itu, mencerminkan struktur industri manufaktur Indonesia yang kuat dari hulu ke hilir," ujarnya.
"Artinya, Indonesia tidak pernah terjadi dalam fase deindustrialisasi. Hal ini sekaligus menepis dan mematahkan analisa dari siapapun yang mengatakan bahwa telah terjadi deindustrialisasi di Indonesia,” tambahnya.
Menurut Agus, subsektor industri logam dasar yang di banyak negara industri maju diposisikan sebagai strategic backbone of industrial development, telah menunjukkan kinerja yang semakin kuat di tataran nasional.
Pada triwulan I 2025, sektor industri logam dasar memberikan kontribusi sebesar 1,10 persen terhadap PDB nasional, sekaligus mencatat pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan sub sektor industri manufaktur lainnya, yaitu mencapai 14,47 persen (yoy).
“Pencapaian ini mencerminkan ekspansi produksi yang kuat, didukung oleh meningkatnya permintaan global, khususnya dari sektor besi dan baja, serta keberhasilan implementasi program hilirisasi nasional yang secara konsisten meningkatkan nilai tambah komoditas dalam negeri,” imbuhnya.
Secara khusus, industri baja nasional juga telah menunjukkan peranan yang semakin penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, pengembangan teknologi, serta mendukung penguatan industri permesinan, otomotif, galangan kapal, dan energi.