Yudo menambahkan "Bali Compact" berprinsip pada percepatan transisi energi dengan mempertimbangkan keuntungan bagi semua pihak tanpa ada yang tertinggal dalam prosesnya.
Tak kalah penting, juga menghargai perbedaan situasi dan kondisi masing-masing negara. Meski demikian, semua tetap sepakat mencapai target-target global.
Kesembilan prinsip tersebut adalah memperkuat kepercayaan dan kejelasan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi secara nasional. Meningkatkan ketahanan energi, stabilitas pasar dan keterjangkauan, mengamankan pasokan energi, infrastruktur, dan sistem yang tangguh, berkelanjutan dan andal.
Prinsip lainnya adalah meningkatkan pelaksanaan efisiensi energi, mendiversifikasi sistem dan bauran energi, serta menurunkan emisi dari semua sumber energi.
Berikutnya, mengkatalisasi investasi yang inklusif dan berkelanjutan dalam skala besar ke arah sistem energi rendah emisi atau Net Zero Emissions; Berkolaborasi dalam memobilisasi semua sumber pendanaan untuk mencapai tujuan Agenda Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 dan Paris Agreement.
Selain itu, meningkatkan teknologi yang inovatif, terjangkau, cerdas, rendah emisi atau Net Zero Emissions, serta membangun dan memperkuat ekosistem inovasi untuk mendorong penelitian, pengembangan, demonstrasi, diseminasi dan penerapannya.
Menurut Yudo, dalam mewujudkan transisi energi ada beberapa tantangan yang harus dihadapi yaitu teknologi dan pendanaan.
"Tantangan lainnya adalah masalah dana," tegasnya.
Ia menjelaskan transisi energi membutuhkan dana yang tidak sedikit, termasuk guna mempercepat waktu pensiunnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Penguasaan teknologi, waktu pelaksanaan proyek, dan kesiapan industri pendukung baik dari sudut aspek teknis maupun keekonomian juga menjadi catatan daftar tantangan berikutnya.