"Pada dasarnya, pemerintah di asumsi 2022 itu harga minyak USD80 per barel, tapi ketika ada perang Rusia-Ukraina, supply shock, menyebabkan harga sampai USD105 per barel. Mau tidak mau harga BBM harus naik," tutur Aviliani.
Hal itu lantaran pada dasarnya kebijakan pemerintah dalam mengelola harga minyak adalah dengan tidak lagi mengandalkan sistem subsidi. Dengan demikian, harga yang diterapkan di pasar sudah sewajarnya berfluktuasi sesuai dengan folatilitas harga minyak dunia.
"Jadi kita lakukan kalau sudah kejadian gitu, nanti harga BBM lagi murah, kita lupa lagi. Itu dari zaman pak Habibie sudah gitu, jadi ini pelajaran buat pemerintah, bahwa untuk menangani hal ini, kita harus mempersiapkan diri bagaimana kesinambungan kita mengarah pada energi terbarukan, atau kita pindah ke gas, atau mikrohidro yang saat ini sudah dikembangkan tapi belum tertangani dengan baik karena dianggap skalanya masih kecil," tutur Aviliani.
Pertama, kalau harga BBM tidak dinaikkan, pemerintah yang tadinya subsidinya hanya Rp200 triliun, bebannya menjadi Rp500 triliun. Memang, pada 2 tahun terakhir, pemerintah mendapatkan windfall dari ekspor CPO dan batubara, dimana negara-negara lain sedang membutuhkan komoditas tersebut dalam jumlah banyak menjelang musim dingin.
"Jadi kita mendapatkan dua windfall, satu dari pajak, dan satu dari harga CPO dan batubara. Rencananya sampai akhir tahun ini kan pemerintah mau mensubsidi, tapi baru saja bulan September ternyata subsidinya sudah melebihi dari anggaran, akibatnya pemerintah mau tidak mau memang harus menaikkan," tambahnya.