sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Nasib Energi Terbarukan: Selalu Dibahas Saat BBM Mahal, Dilupakan Saat BBM Murah

Economics editor Michelle Natalia
05/09/2022 00:17 WIB
harga minyak dunia yang terus melonjak, sehingga memaksa diterapkannya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di pasar domestik.
Nasib Energi Terbarukan: Selalu Dibahas Saat BBM Mahal, Dilupakan Saat BBM Murah (foto: MNC Media)
Nasib Energi Terbarukan: Selalu Dibahas Saat BBM Mahal, Dilupakan Saat BBM Murah (foto: MNC Media)

IDXChannel - Ekonom Senior, Aviliani, mengaku memahami betul kondisi dilematis yang dihadapi pemerintah saat ini, di mana harga minyak dunia yang terus melonjak, sehingga memaksa diterapkannya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di pasar domestik.

Menurut Aviliani, setiap pemerintahan pada dasarnya selalu mengalami kondisi dan tantangan yang sama, yaitu terkait demikian besarnya konsumsi masyarakat yang membuat ketergantungan Indonesia terhadap pasokan BBM impor.

Dengan kondisi ketergantungan tersebut, bisa dipahami bila kemudian masyarakat menjerit ketika harga melonjak sejalan dengan fluktuasi harga minyak di pasar global. Dengan tekanan tersebut, sebagian pihak pun mulai menimbang keberadaan energi baru terbarukan (EBT) guna mengurangi ketergantungan tersebut.

"Dan masalahnya juga selalu sama, (energi terbarukan) selalu dibahas saat BBM mahal, dicari-cari, tapi ketika BBM murah, kita sering kali melupakan dan terlena," ujar Aviliani, dalam Rilis Survei Nasional LSI bertajuk Kondisi Ekonomi dan Peta Politik Menjelang 2024, Minggu (4/9/2022).

Aviliani menjelaskan, saat ini ada dua isu besar yang marak dibicarakan di masyarakat, yaitu isu BBM dan isu pangan. Dia mengatakan, pemerintah perlu transparan dan menyebutkan alasan mengapa harga BBM harus naik, dan bagaimana pemerintah mengatasi isu pangan. 

"Pada dasarnya, pemerintah di asumsi 2022 itu harga minyak USD80 per barel, tapi ketika ada perang Rusia-Ukraina, supply shock, menyebabkan harga sampai USD105 per barel. Mau tidak mau harga BBM harus naik," tutur Aviliani.

Hal itu lantaran pada dasarnya kebijakan pemerintah dalam mengelola harga minyak adalah dengan tidak lagi mengandalkan sistem subsidi. Dengan demikian, harga yang diterapkan di pasar sudah sewajarnya berfluktuasi sesuai dengan folatilitas harga minyak dunia.

"Jadi kita lakukan kalau sudah kejadian gitu, nanti harga BBM lagi murah, kita lupa lagi. Itu dari zaman pak Habibie sudah gitu, jadi ini pelajaran buat pemerintah, bahwa untuk menangani hal ini, kita harus mempersiapkan diri bagaimana kesinambungan kita mengarah pada energi terbarukan, atau kita pindah ke gas, atau mikrohidro yang saat ini sudah dikembangkan tapi belum tertangani dengan baik karena dianggap skalanya masih kecil," tutur Aviliani. 

Pertama, kalau harga BBM tidak dinaikkan, pemerintah yang tadinya subsidinya hanya Rp200 triliun, bebannya menjadi Rp500 triliun. Memang, pada 2 tahun terakhir, pemerintah mendapatkan windfall dari ekspor CPO dan batubara, dimana negara-negara lain sedang membutuhkan komoditas tersebut dalam jumlah banyak menjelang musim dingin. 

"Jadi kita mendapatkan dua windfall, satu dari pajak, dan satu dari harga CPO dan batubara. Rencananya sampai akhir tahun ini kan pemerintah mau mensubsidi, tapi baru saja bulan September ternyata subsidinya sudah melebihi dari anggaran, akibatnya pemerintah mau tidak mau memang harus menaikkan," tambahnya.

Aviliani mengatakan, yang masyarakat mungkin belum pahami adalah memang dampak pada inflasi. Tetapi, yang perlu diketahui masyarakat adalah 80% pengguna BBM subsidi adalah bukan masyarakat yang membutuhkan, tapi sebenarnya industri yang menggunakan.

"Yang kedua, mobil-mobil yang paling banyak menggunakan BBM juga yang paling banyak menyedot. Akibatnya, dengan salah sasaran, ibaratnya pemerintah kan bakar uang, ini yang mungkin perlu dipahamkan kepada masyarakat. Tapi pemerintah sudah benar kemarin, ngasih BLT baru kemudian pengumuman harga naik, nah itu harus ada kecepatan dalam menyalurkan BLT-nya agar masyarakat belum mengalami kenaikan harga," tegas Aviliani. (TSA)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement