Awal masalah karena proyek kereta cepat yang disetujui secara feasibility study atau studi kelayakan bermasalah, biaya proyek membengkak, kemudian ujungnya pemerintah harus turun tangan.
“Kalau awalnya B2B ya harusnya hitungan bisnis nya masuk akal. Kenapa pinjaman dari China Development Bank di setujui pasti ada pertimbangan return on investment (ROI) dari proyek kereta cepat bentuknya komersil,” urainya.
Secara hitungan proyek, proses pembangunan ini sifatnya komersil sebenarnya pemerintah rugi dua kali. Kerugian pertama saat proyek ditahap konstruksi biaya sangat besar. Kedua ketika proyek berjalan atau operasional masih andalkan subsidi pemerintah.
“Sekarang perlu disesuaikan pastinya lebih mahal. Maka dari itu jelas proyek ini sedari awal proyek komersial alias tujuan cari untung. Tiba tiba sekarang disuntik APBN tentu jadi tanda tanya besar,” pungkasnya.
(IND)