IDXChannel - Produksi bahan bakar bioetanol untuk campuran bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin di Indonesia masih memerlukan waktu. Pasalnya, bahan baku bahan bakar nol kandungan sulfur tersebut masih harus diimpor dari negara luar.
Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis di Pertamina New & Renewable Energy (NRE) Fadli Rahman mengatakan, perlu kepastian ketersediaan bahan baku bioetanol yang mayoritas berasal dari tebu atau jagung. Untuk itu, pengembangan sumber energi berupa bioetanol tidak bisa dilakukan secara masif karena akan berhadapan dengan kepentingan bahan pangan nasional.
"Bioetnol memang bisa mengurangi impor BBM, emisi, tapi yang harus kita lihat juga bahwa bioetanol berasal dari jagung, gula, yang semuanya impor. Jadi kurang semua bahan-bahannya dan akhirnya berperang sama ketahanan pangan," ujar Fadli saat ditemui di iNews Tower, Jakarta, Rabu (18/9/2024).
Selain karena kurangnya ketersediaan bahan baku, produksi bioetanol di Indonesia sulit dilakukan karena belum adanya industri yang masif. Selain itu, dia menyebut butuh waktu yang cukup lama untuk bisa meramu bioetanol secara sempurna.
"Itu butuh waktu bisa 20 tahun. Jadi, memang jika ada opsi akuisisi (produsen bioetanol) itu penting untuk memastikan adanya pasokan," kata Fadli.
Untuk diketahui, implementasi bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) telah dimulai oleh Pertamina melalui peluncuran produk Pertamax Green 95 pada 2023. Langkah ini sejalan dengan rencana pemerintah untuk mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di sektor transportasi melalui penyediaan Bahan Bakar Nabati (BBN).
Pemerintah mendorong penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar transportasi dengan harapan langkah ini dapat mengurangi impor BBM nasional, menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB), serta berkontribusi pada penurunan emisi dalam jangka panjang.
(Rahmat Fiansyah)