sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Pengembangan Bioenergi Perlu Regulasi  untuk Capai Net Zero Emission di 2060

Economics editor Wahyu Sibarani
10/11/2023 02:30 WIB
Pemerintah perlu meluncurkan regulasi komprehensif dan terintegrasi untuk pengembangan bioenergi. Hal itu diperlukan untuk mencapai net zero emission di 2060.
Pengembangan Bioenergi Perlu Regulasi  untuk Capai Net Zero Emission di 2060. (Foto: MNC Media)
Pengembangan Bioenergi Perlu Regulasi  untuk Capai Net Zero Emission di 2060. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Pemerintah perlu meluncurkan regulasi yang komprehensif dan terintegrasi untuk pengembangan bioenergi. Hal itu diperlukan untuk mencapai net zero emission di 2060.

Regulasi itu diperlukan untuk memberikan insentif yang menarik seperti pajak, subsidi, dan dukungan teknis dalam pemasaran bioenergi.

Hal itu diungkap oleh Akhmad Hanan, peneliti dari Purnomo Yusgiantoro Center dalam webinar bertajuk "Potensi dan Tantangan Pengembangan Bioenergi dalam Kontribusi pada Capaian Program Net Zero Emission 2060" yang digelar oleh Yayasan BENIH ( Bangkit Energi Indonesia Hijau) dan Pimpinan Pusat Kesatria Muda Respublika, Kamis (9/11/2023) ini.

Akhmad melanjutkan saat ini beberapa negara seperti Amerika Serikat, Brasil, dan negara-negara di Uni Eropa telah menerapkan kebijakan fiskal dan non-fiskal untuk mendukung pengembangan bioenergi. Hal itu dilakukan karena upaya penekanan emisi harus dilakukan secara holistik.

"Beberapa negara malah telah menerapkan praktik pengelolaan biomassa yang berkelanjutan. Contohnya penanaman pohon energi, pengelolaan limbah pertanian, dan penggunaan biomassa yang tidak bersaing dengan pangan," terang Akhmad.

Namun, dia memang mengakui pengembangan bioenergi memang memiliki keuntungan dan kekurangan tersendiri. Di satu sisi, bioenergi merupakan sumber energi bersih yang tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca.

Selain itu, bioenergi merupakan sumber energi yang dapat diproduksi di dalam negeri sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Bahkan pengembangan bioenergi juga dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan perekonomian nasional.

"Bioenergi memang memiliki biaya produksi yang relatif tinggi. Biayanya berkisar antara USD0,15 hingga USD0,70 per kWh. Bisa dibandingkan dengan listrik dari batu bara yang hanya USD0,04 hingga USD0,10 per kWh," terangnya.

Tidak hanya itu, menurut Akhmad, pengembangan bioenergi juga membutuhkan ketersediaan biomassa yang cukup. Jadi langkah-langlah cermat dan mendetail sangat diperlukan untuk pengembangan bioenergi.

Kondisi itu diamini oleh akademisi dari Institut Pertanian Bogor, Dwi Setyaningsih, yang mengatakan pengembangan yang kurang matang justru akan menjadikan bioenergi jadi kurang kompetitif.

Salah satu contohnya pernah dirasakan oleh masyarakat Indonesia ketika mengembangkan salah satu hasil bioenergi yakni bioetanol dari jagung. Pada 2016 pemerintah mendukung proses pembuatan bioetanol jagung skala rumahan.

"Saat itu banyak disosialisasikan bioetanol skala kecil dari bahan jagung. Tapi produknya kurang kompetitif dan prosesnya juga sangat panjang," terangnya.

Saat itu menurut dia jauh lebih mudah mengubah minyak jadi biodiesel dibanding unsur pati jadi bioetanol. "Tantangan pengembangan bioenergi adalah masalah keekonomian. Banyak jenis produk bioenergi, tapi tidak banyak yang sampai ke pasar dan tidak kompetitif denga bahan bakar fosil," ujarnya.

(FRI)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement