"Bioenergi memang memiliki biaya produksi yang relatif tinggi. Biayanya berkisar antara USD0,15 hingga USD0,70 per kWh. Bisa dibandingkan dengan listrik dari batu bara yang hanya USD0,04 hingga USD0,10 per kWh," terangnya.
Tidak hanya itu, menurut Akhmad, pengembangan bioenergi juga membutuhkan ketersediaan biomassa yang cukup. Jadi langkah-langlah cermat dan mendetail sangat diperlukan untuk pengembangan bioenergi.
Kondisi itu diamini oleh akademisi dari Institut Pertanian Bogor, Dwi Setyaningsih, yang mengatakan pengembangan yang kurang matang justru akan menjadikan bioenergi jadi kurang kompetitif.
Salah satu contohnya pernah dirasakan oleh masyarakat Indonesia ketika mengembangkan salah satu hasil bioenergi yakni bioetanol dari jagung. Pada 2016 pemerintah mendukung proses pembuatan bioetanol jagung skala rumahan.
"Saat itu banyak disosialisasikan bioetanol skala kecil dari bahan jagung. Tapi produknya kurang kompetitif dan prosesnya juga sangat panjang," terangnya.
Saat itu menurut dia jauh lebih mudah mengubah minyak jadi biodiesel dibanding unsur pati jadi bioetanol. "Tantangan pengembangan bioenergi adalah masalah keekonomian. Banyak jenis produk bioenergi, tapi tidak banyak yang sampai ke pasar dan tidak kompetitif denga bahan bakar fosil," ujarnya.
(FRI)