Sejak tahun 1970, pertumbuhan ekonomi AS didorong oleh salah satunya oleh High-skilled worker.
Sebanyak 75% pertumbuhan ekonomi negeri Paman Sam didorong oleh peningkatan produktivitas dan keterampilan pekerja, hingga pergeseran teknologi.
Perubahan ini juga secara mendasar terkait dengan kualitas tenaga kerja. Akibat adanya peningkatan tingkat pendidikan, upaya penelitian dan pengembangan yang inovatif, keterampilan kewirausahaan, dan keahlian digital.
Di Indonesia, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengatakan Tanah Air tengah menghadapi kebutuhan sumber daya manusia (SDM) andal di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada April tahun 2021 lalu.
Ironi berlanjut di mana PHK yang menimpa para pekerja digital ini memperburuk keadaan. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga, Indonesia di satu sisi kekurangan talenta digital, tapi di sisi lain banyak tenaga kerja digital yang kena PHK.
Merujuk data Bank Dunia, Johnny menjelaskan Indonesia tengah mengalami kesenjangan talenta digital atau digital talent gap yang meluas.
Penilaian bersama tahun 2018 oleh Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia menyoroti kekurangan keterampilan yang kritis di puluhan posisi manajerial dan profesional yang penting untuk inovasi teknologi, seperti arsitek solusi cloud dan desainer UI/UX.
Kekurangan bakat untuk pengembangan produk dan layanan baru telah mendorong platform digital untuk mencari kemampuan R&D di tempat lain.
Misalnya, GoJek telah mendirikan divisi Litbang dengan mengakuisisi tiga perusahaan teknologi India. Sementara pesaingnya Grab, juga telah mendirikan pusat Litbang di India karena alasan serupa.
“Indonesia membutuhkan sembilan juta talenta digital dalam 15 tahun atau rata-rata 600 ribu talenta digital per tahun,” ujar Johnny.
Kondisi ini menyebabkan ancaman bagi ekonomi ke depan. Kekurangan talenta digital diramalkan akan berdampak pada pertumbuhan PDB kumulatif sebesar USD11,5 triliun dalam sepuluh tahun ke depan di ekonomi negara G20.
Angka ini setara dengan kehilangan lebih dari satu poin persentase dari rata-rata tingkat pertumbuhan tahunan selama periode tersebut. (Lihat grafik di bawah ini.)
Jika persoalan digital talent gap tidak segera ditangani, maka akan berdampak bagi ekosistem industri tekno ke depan.
Kondisi Ekonomi Digital, Cerah Tapi Berpotensi Tersendat
Adopsi digital terus meningkat bahkan hingga hari ini. Meskipun kondisinya kian melambat jika dibandingan dengan puncak pandemi.
Beberapa negara ekonomi utama di Asia Tenggara mulai kembali ke kondisi normal sebelum pandemi.
Sementara angin yang mengguncang ekonomi global mulai bertiup. Kondisi ini mengancam gagalnya pemulihan ekonomi pasca pandemi Covia-19.
Kenaikan suku bunga dan tekanan inflasi yang tinggi juga berdampak signifikan pada permintaan konsumen, khususnya sektor utama yang menjadi inti ekonomi digital.
Laporan e-Conomy SEA 2022 menyebutkan, 'dekade digital' di kawasan Asia Tenggara baru saja dimulai.
Terlepas dari hambatan ekonomi makro ini, ekonomi digital Asia Tenggara tetap berada di jalur yang tepat dengan nilai pendapatan kotor USD200 miliar nilai GMV pada tahun 2022. Angka ini ditaksir bertumbuh 20% year-on-year (YoY). (Lihat grafik di bawah ini.)
Faktanya, ini setara dengan target tiga tahun lebih awal dari yang diperkirakan dalam laporan e-Conomy SEA 2016.
Jalan untuk mencapai pertumbuhan GMV lebih dari USD300 miliar pada tahun 2025 bergantung pada bentuk pemulihan di tengah ketidakpastian saat ini. Kondisi ini bergantung pada fundamental ekonomi Asia Tenggara.