Sementara Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi digital tercepat di Asia Tenggara.
Ironisnya, hampir sebagian besar startup yang melakukan PHK massal di RI merupakan ‘Pandemic Darling’ atau perusahaan yang meraup kenaikan GMV atau Gross Merchandise Value selama puncak pandemi 2020-2021.
Karena valuasinya tinggi, maka mereka dipersepsikan mudah mencari pendanaan baru. Faktanya agresifitas ekspansi perusahaan digital ternyata saat ini tidak sebanding dengan kucuran dana investor.
“Banyak investor terutama asing menjauhi perusahaan dengan valuasi tinggi tapi secara profitabilitas rendah, atau model bisnis nya tidak sustain (berkelanjutan),” ujar Bhima.
Kini, jelas saja pengangguran di sektor digital akan kian bertambah akibat serangkaian PHK yang terjadi. Meskipun ekonomi digital tumbuh, tentu tidak akan ada artinya jika para bakat digital harus kehilangan keahlian akibat terlalu lama menganggur.
Apa Yang Dibutuhkan Pekerja Digital?
Dalam laporan Bank Dunia berjudul Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia pada 2021 mengatakan, Indonesia saat ini tidak mengatur kondisi kerja dan kontrak platform digital dan pekerjanya.
Sehingga para platform itu sendiri yang mengatur kondisi kerja melalui perjanjian sesuai standar mereka.
Namun, seiring pertumbuhan ekonomi digital, dan semakin banyak pekerja memasuki pengaturan kerja ini, Indonesia mungkin perlu mengatur bentuk pekerjaan ini untuk memberikan perlindungan yang dibutuhkan pekerja.
Menurut studi Hardvard Business Review (HBR), serangkaian PHK massal yang baru-baru ini terjadi di Silicon Valley, termasuk pemecatan puluhan ribu pekerja Amazon dan Meta, telah menciptakan peluang luar biasa bagi perusahaan yang kekurangan bakat digital.
PHK saat ini telah menciptakan peluang besar bagi perusahaan konvensional. Dengan merekrut dan mempekerjakan mantan jajaran perusahaan digital terkemuka dunia, mereka dapat memperoleh akses ke bakat baru di pasar yang kurang kompetitif.
“Bakat ini dapat membantu mengubah model bisnis mereka yang stagnan menjadi model yang gesit secara digital, untuk mempersiapkan lingkungan bisnis yang semakin bergejolak,” kata laporan ini dikutip Kamis, (24/11).
Diperlukan tindakan untuk memastikan bahwa talenta digital Indonesia, terutama yang rentan PHK, dapat mengakses berbagai kesempatan pekerjaan baru. Tidak hanya di sektor bisnis digital, tapi juga bisa ditempatkan untuk perusahaan konvensional. (ADF)