IDXChannel - Amerika Serikat hampir pasti masuk ke jurang resesi setelah realisasi inflasi tahunannya di Juni 2022 mencapai 9,1 persen. Kondisi itu diprediksi akan mendorong Bank Indonesia untuk juga menaikkan suku bunga acuannya.
Analis Pasar Keuangan, Gunawan Benjamin, mengatakan data inflasi inti Amerika Serikat telah naik sebesar 5,9 persen secara tahunan di bulan Juni. Realisasi inflasi sebesar itu menggiring opini bahwa The Fed atau sebutan bagi Bank Sentral AS akan menaikkan bunga acuan sebesar 100 basis poin di bulan juli ini.
"Hal tersebut sangat masuk akal dilakukan The FED nantinya untuk meredam tingginya laju tekanan inflasi," kata Gunawan, Kamis (15/7/2022).
Ekspektasi kenaikan laju tekanan inflasi tersebut menjadi masalah baru bagi mata uang Rupiah. Rupiah yang sebelumnya sempat cukup tenang dikisaran bawah 15 ribu per US Dolar, terpaksa berbalik dan menembus level psikologis 15 ribu. Pada perdagangan sore ini Rupiah bahkan ditransaksikan di kisaran level 15.035 per US Dolarnya.
"Meski demikian saya menilai pelemahan Rupiah saat ini terbilang wajar seiring dengan tinginya harapan kenaikan bunga acuan di AS," sebut Gunawan.
Gunawan juga memprediksi Bank Indonesia akan melakukan penyesuaian kebijakan bunga acuan (BI Repo Rate) pada pekan depan. Besaran kenaikan suku bunga diperkirakan akan mencapai setidaknya 50 basis point.
"Di pekan selanjutnya The FED akan menaikkan bunga acuannya. Jadi setelah serangkaian kebijakan penyesuaian bunga acuan tersebut, baik yang dilakukan BI maupun The FED. Maka jika Rupiah nantinya masih mampu bertahan di kisaran 15 ribu per US Dolar-nya," pungkasnya.
Gunawan menilai kebijakan BI itu sangat efektif dalam meredam gejolak pasar yang dipicu oleh kenaikan bunga acuan Bank Sentral AS. Rupiah tidak bisa berharap banyak akan tetap menguat di tengah tingginya kebijakan suku bunga acuan di banyak belahan Negara di dunia.
"Apalagi ada ancaman resesi yang bisa saja membuat kinerja ekonomi makro nasional yang terjebak dalam stagflasi justru bisa berubah menjadi resesi nantinya," tegasnya.
Sejauh ini, terang Gunawan, kinerja mata uang Rupiah memang masih tertolong oleh kenaikan harga komoditas ekspor nasional, seperti Minyak dan Gas, Batu Bara, hingga minyak sawit mentah (CPO) yang menambah besaran cadangan devisa.
Tetapi saat Negara lain resesi, maka permintaan akan komoditas ekspor kita bisa saja berkurang. Harga bisa saja berbalik turun, dan intervensi dengan menguras cadangan devisa bukanlah jalan yang harus ditempuh secara terus menerus.