sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Selain Iuran Memberatkan, Riset LPEM FEB UI Ungkap Alasan Masyarakat Tolak Tapera

Economics editor Nia Deviyana
09/06/2024 15:45 WIB
Rencana pemerintah untuk segera memberlakukan iuran wajib kepesertaan Program Tapera menciptakan polemik baru bagi masyarakat.
Selain Iuran Memberatkan, Riset LPEM FEB UI Ungkap Alasan Masyarakat Tolak Tapera. Foto: MNC Media.
Selain Iuran Memberatkan, Riset LPEM FEB UI Ungkap Alasan Masyarakat Tolak Tapera. Foto: MNC Media.

IDXChannel - Rencana pemerintah untuk segera memberlakukan iuran wajib kepesertaan Program Tapera menciptakan polemik baru bagi masyarakat. Masih tingginya angka backlog perumahan dengan dominasi kelompok masyarakat berpendapatan rendah menjadi alasannya. 

Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengungkap alasan banyak orang menolak program ini.

"Dari segi manfaat yang didapatkan terlihat tidak begitu menarik bagi para pekerja. Berbeda dengan BPJS yang manfaatnya bisa dinikmati seluruh kelompok peserta, manfaat utama Tapera, yaitu KPR dengan tingkat bunga lebih rendah dari tingkat bunga pasar hanya dapat dinikmati kelompok tertentu," tulis riset bertajuk Ribut Soal Tapera: Kebijakan Harga Mati untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional?", dikutip Minggu (9/6/2024).

Dengan kata lain, Tapera tidak bersifat universal. Pekerja yang diikutsertakan membayar iuran program Tapera tidak dapat mencairkan dana simpanan sebelum masa kepesertaan berakhir.

Selain itu, pekerja juga tidak mendapatkan imbal hasil dana simpanan Tapera yang sepadan dengan nilai valuasi ekonominya setelah masa kepesertaan berakhir. 

Ini belum menghitung dampak inflasi yang menggerus nilai riil dari uang yang ditabung. Sebagai contoh, masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp8-Rp10 juta hanya dapat menikmati dana dan imbal hasil iuran Tapera setelah kepesertaannya berakhir. 

Adapun imbal hasil simpanan dana Tapera juga relatif lebih rendah dibandingkan instrumen investasi konvensional lainnya (saham, reksa dana, obligasi). 

Tapera rencananya akan menginvestasikan dana kelolaan mereka dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang sama seperti reksa dana, sehingga peserta Tapera akan mendapatkan unit penyertaan yang sesuai dengan potongan gajinya dibagi dengan NAB (Nilai Aktiva Bersih) per unit pada saat pencairan. 

Maka, imbal hasil yang didapatkan tentu akan lebih rendah dari rata-rata obligasi negara yang saat ini berkisar di 6,5% atau maksimal setara dengan imbal hasil deposito di kisaran 3,5%.

Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa peserta program Tapera tidak mendapatkan kembali dana tabungannya secara utuh meskipun masa kepesertaannya telah berakhir. 

Ditambah lagi, adanya kasus hukum yang membelit ASABRI, Jiwasraya, dan Taspen yang terjadi dalam kurun enam tahun terakhir (2018-2024) telah mencederai kepercayaan publik terhadap kredibilitas pengelolaan dana yang dihimpun oleh perusahaan milik pemerintah. Sehingga, terdapat persepsi negatif yang besar dalam benak publik mengenai integritas pemerintah terkait penyelenggaraan program Tapera. 

"Maka dari itu, penting adanya regulasi tambahan yang mengatur secara detil mekanisme proses pencairan dari Tapera untuk meningkatkan kepercayaan publik," tulis riset tersebut.

(NIA)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement