sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Sikapi Tekanan Tarif Impor AS, Pemerintah Diminta Perluas Pasar Ekspor

Economics editor Taufan Sukma Abdi Putra
23/05/2025 21:10 WIB
Indonesia saat ini sedang fokus menggali lebih jauh terkait peluang sumber daya mineral dari dalam negeri.
Sikapi Tekanan Tarif Impor AS, Pemerintah Diminta Perluas Pasar Ekspor (foto: iNews Media Group)
Sikapi Tekanan Tarif Impor AS, Pemerintah Diminta Perluas Pasar Ekspor (foto: iNews Media Group)

IDXChannel - Perkembangan ekonomi global dengan iklim perang dagang AS-China yang masih dalam masa jeda dinilai harus disikapi dengan cermat oleh pemerintah Indonesia.

Salah satunya dengan membuka peluang perluasan pasar ekspor, sehingga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan eksportir nasional terhadap pasar Amerika Serikat.

Langkah ini dinilai dapat dilakukan sembari upaya negosiasi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah AS juga tetap dilakukan secara intensif.

Menurut Senior Chief Economist PT Samuel Sekuritas Indonesia, Fitra Faisal, peluang bagi Indonesia untuk membuka ruang negosiasi dengan AS terkait kebijakan tarif impor Presiden Donald Trump relatif cukup besar.

"Karena bagaimana pun kita masih perlu impor untuk komoditas tertentu. Kita perlu membeli banyak produk, peralatan pertahanan, kedelai, gandum, dan sebagainya," ujar Fitra.

Terlebih, menurut Fitra, Indonesia saat ini sedang fokus menggali lebih jauh terkait peluang sumber daya mineral dari dalam negeri. Kondisi tersebut diyakini Fitra bakal memberi dampak terhadap kegiatan impor Indonesia.

"Menurut Saya, (tarif impor) yang ideal itu sekitar 10 persen. Berharap kita memilki tarif 10 persen, ditambah beberapa tarif lainnya. Misalnya, dalam industri tekstil, (tarifnya) sebesar 20 hingga 37 persen," ujar Fitra.

Di lain pihak, Chief Economist Trimegah Securities, Fakhrul Fulvan, lebih menyoroti tren penguatan Dollar AS yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir.

Hal tersebut menurut Fakhrul dapat terjadi lantaran mayoritas transaksi internasional saat ini masih menggunakan mata uang Dollar AS.

"(Kondisi) Ini menjadikan perdagangan internasional, khususnya di Amerika Serikat, menjadi paling banyak dituju," ujar Fakhrul.

Tak hanya itu, Fakhrul juga menyoroti terkait pembelian perlatan pertahanan yang lebik banyak membeli dari Prancis. Padahal, peralatan pertahanan buatan Prancis lebih mahal jika dibandingkan Amerika Serikat. 

"Peralatan pertahanan Prancis terlalu mahal. Secara rasional seharusnya mengalokasikan peralatan pertahanan kita dari Prancis ke AS," ujar Fakhrul.

Dalam kesempatan yang sama, Managing Director PT Samuel Sekuritas Indonesia, Harry Su memberikan gambaran terkait pertumbuhan ekonomi global saat ini.

Menurut Harry, Produk Domestik Bruto (PDB) global pada tahun 2024 sebesar 3,2 persen. Angka tersebut di luar dari prediksi sebelumnya yang hanya 2,8 persen.

"Jika Anda melihat pertumbuhan PDB global tahun lalu, itu adalah 3,2 persen. Analis dan ekonom di dunia, mereka sebenarnya cukup diprediksi 2,8 persen," ujar Harry.

Harry menjelaskan, PDB global tahun ini mengalami penurunan sebesar 0,6 persen, dari posisi 3,2 persen pada tahun lalu, menjadi 2,6 persen tahun ini.

Selain itu, perekonomian China juga sedang mengalami guncangan, karena terjadi penurunan dari tahun 2024 ke 2025.

"China tumbuh lima persen tahun lalu, dan diperkirakan akan tumbuh 4,2 persen tahun ini," ujar Harry.

Melihat hal tersebut, Harry menilai bahwa saat ini sedang terjadi ketidakpastian ekonomi global. Karenanya, Indonesia harus berupaya mencari jalan keluar agar ekonomi terus alami pertumbuhan.

"Indonesia harus memiliki daya saing agar negara-negara di dunia berminat untuk berinvestasi. Selain itu, kita juga harus tidak lagi berfokus pada pasar perdagangan AS. Indonesia akan menjadi pasar baru," ujar Harry.

(taufan sukma)

Halaman : 1 2 3 4
Advertisement
Advertisement