sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Sisi Lain Gemerlap Piala Dunia di Qatar, Masalah Buruh Migran hingga Dampak Emisi

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
22/11/2022 15:07 WIB
Qatar tercatat menghabiskan sekitar USD220 miliar untuk infrastruktur penunjang Piala Dunia 2022.
Sisi Lain Gemerlap Piala Dunia di Qatar, Masalah Buruh Migran hingga Dampak Emisi. (Foto: MNC Media)
Sisi Lain Gemerlap Piala Dunia di Qatar, Masalah Buruh Migran hingga Dampak Emisi. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Gempita perhelatan akbar Piala Dunia 2022 Qatar memunculkan sejumlah ironi. Sejak terpilihnya negara Timur Tengah tersebut menjadi tuan rumah FIFA World Cup, pro kontra tak hentinya menghampiri.

Meskipun Qatar merupakan negara kaya sumber daya, menjadi tuan rumah Piala Dunia memerlukan biaya logistik yang tidak murah.

Proyek olahraga ini membutuhkan miliaran dolar investasi untuk pembangunan stadion baru, infrastruktur transportasi, dan akomodasi untuk melayani ratusan ribu penggemar yang menghadiri turnamen.

Qatar tercatat telah menghabiskan hampir USD220 miliar untuk infrastruktur baru menjelang laga sepak bola terbesar tahun ini.

Sayangnya, infrastruktur olahraga, termasuk stadion piala dunia dibangun di atas punggung buruh migran berupah rendah, upaya sportwashing, hingga dampak emisi yang ditimbulkan cukup besar.

Buruh Murah Penopang Stadion Megah Qatar

Otoritas Qatar disebut menekan biaya tenaga kerja dengan mengandalkan jaringan buruh migran berupah rendah yang ekstensif dan sangat eksploitatif untuk mempersiapkan turnamen ini.

Adapun berdasarkan data otoritas terkait, upah minimum di Qatar tetap tidak berubah di angka 1000 QAR/Bulan atau sekitar Rp4,31 juta dari tahun 2020 hingga 2022. Tahun sebelumnya, bahkan nilainya lebih rendah hanya mencapai 750 QAR/Bulan.

Tarif ini merupakan upah maksimum untuk karyawan, sementara tarif minimum adalah 750 QAR/Bulan atau setara Rp3,2 juta. (Lihat tabel di bawah ini.)

Buruknya sistem pekerja migran di Qatar bukanlah rahasia, dan kondisi berbahaya yang diciptakan oleh sistem itu dilakukan untuk persiapan Piala Dunia.

Melansir Vox.com, hingga akhir tahun 2010-an, sebagian besar dari sekitar 2 juta buruh migran Qatar--yang merupakan sekitar 94% dari total angkatan kerja negara itu--dipekerjakan melalui sistem kerja paksaan yang terkenal dikenal sebagai sistem kafala atau sponsor.

Sistem ini menempatkan pekerja terjebak dalam serangkaian kontrak yang mengikat secara hukum.

Meskipun Qatar telah membuat beberapa reformasi besar pada sistem kafala dalam beberapa tahun terakhir, sisa-sisa sistem itu disebut masih memberi majikan kekuasaan yang sangat besar atas pekerja.

Karena Qatar sedang bersiap untuk Piala Dunia, konsekuensi dari sistem ini semakin menjadi dan mematikan.

Pada 2021, Guardian melaporkan bahwa pekerja dari India, Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka sejumlah 5.927 pekerja migran tewas dalam bekerja pada proyek stadion pada periode 2011–2020.

Secara terpisah, data dari kedutaan Pakistan di Qatar melaporkan lebih dari 824 kematian pekerja Pakistan, antara tahun 2010 dan 2020.

Sementara itu, berdasarkan data Amnesty International, pekerja ini juga mengalami serangkaian pelanggaran termasuk pencurian upah, jam kerja yang berlebihan, kondisi kerja dan kehidupan yang berbahaya, serta pelecehan fisik dan seksual.

Upaya Sportwashing hingga Penyumbang Emisi Besar

Qatar juga dikecam karena menggunakan turnamen itu untuk “Sportswashing” catatan pelanggaran hak asasi manusianya.

Sportswashing adalah istilah yang menggambarkan upaya pemerintah yang represif menggunakan acara olahraga bergengsi untuk memoles reputasi internasional mereka.

Pada tahun lalu, istilah tersebut telah digunakan untuk menggambarkan China sebagai tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 2022 hingga keputusan Arab Saudi untuk mendanai liga golf profesional pemula.

Selama beberapa dekade, Qatar telah dikritik oleh aktivis HAM karena undang-undang yang membatasi hak-hak perempuan dan LBGTQ. Khususnya untuk ketentuan dalam hukum pidana negara yang mengkriminalisasi hubungan seksual antara sesama jenis.

Qatar juga memiliki catatan buruk dalam hal kebebasan berekspresi. Hukum pidana negara itu mengkriminalisasi pidato yang mengkritik emir, menghujat Islam, atau menyebarkan hoaks.

Rezim Qatar juga menargetkan jurnalis independen yang melakukan perjalanan ke negara itu untuk melaporkan kondisi kerja buruh migran.

Otoritas setempat juga telah memberlakukan pembatasan besar-besaran pada jurnalis yang meliput Piala Dunia.

Terkait emisi karbon, FIFA juga berjanji turnamen tahun ini bakal menjadi Piala Dunia netral karbon pertama dalam sejarah kompetisi tersebut.

Namun, kenyataan tak seindah ucapan Gianni Infantino, sang presiden FIFA.

Turnamen tahun ini akan dimainkan di delapan tempat terpisah di sekitar Qatar. Di antaranya enam stadion yang baru dibangun, satu stadion yang sudah ada, dan satu tempat “sementara” yang akan didekonstruksi dan diubah fungsinya setelah Piala Dunia berakhir.

Untuk menghitung total jejak karbon, para ilmuwan iklim menyebutkan harus mengikutkan total emisi yang terkait dengan pembangunan semua stadion, kemudian membagi angka tersebut dengan umur rata-rata setiap stadion.

“Emisinya mencapai sekitar 5 megaton atau 5 juta ton emisi dihasilkan dan itu perkiraan yang cukup konservatif," kata Gilles Dufrasne, peneliti iklim Carbon Market Watch, dikutip Vox.com (22/11).

Jumlah ini bahkan lebih besar dari seluruh emisi yang dihasilkan negara Uruguay yakni sekitar 4,7 megaton karbon pada tahun 2019. (ADF)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement